“Hai Guys, Hari Ini Kita Pesan…”

MARI lupakan sejenak tentang pengumuman KPU. Perkara Pemilu dilaksanakan sesuai aturan atau aturan yang bisa diatur-atur, tidak kami bahas dulu.

Ini ada yang sedang menarik di alam perkulineran.

Sejak media sosial meledak di masyarakat, dan kemudian bisa menjadi penghasilan si pemilik akun, maka berlomba-lombalah membuat konten. Bermacam-macam. Ada yang membahas hal serius, komedi, reaksi atas konten orang, mereaksi atas reaksi atas konten orang, dan seterusnya.

Ada juga yang dadakan menjadi ahli dalam bidang sesuatu yang mungkin ia sendiri tahu atau tidak punya pengalaman atau pengetahuan akan itu. Sepanjang kontennya menarik dan mewakili sebagian pengikut, apa saja komentar yang dikeluarkan langsung benar adanya dan dibenarkan.

Perseteruan dua akun kuliner di media sosial saat ini cukup menarik perhatian. Karena konten dari sebuah akun kuliner yang mereview kafe atau restoran dan sejenisnya, sudah dinilai kebablasan oleh akun lainnya.

Dari hasil konten tersebut, tak sedikit tempat yang dikunjungi kemudian direview, mendapat imbasnya. Bila komentar yang keluar negatif, siap-siap saja tempat tersebut jadi sepi. Begitu luar biasanya pengaruh sebuah konten. Dan sungguh sangat luar biasa, pengikutnya percaya mentah-mentah atas hasil reviewnya.

Ya, media sosial memang begitu luas dampaknya. Sampai-sampai, pemerintahan pun turun tangan membatasinya dengan membuat aturan-aturan. Tapi, aturan itu tidak lantas menyurutkan penggunaan media sosial. Bisa diibaratkan, media sosial ini merupakan sebuah negara tersendiri. Sebuah negara tak kasat mata.

Kembali ke soal review mereview.

Penulis termasuk salah satu yang gemar menyimak konten-konten kuliner, khususnya lokal. Karena penyajian videografinya menarik, kami tak sedikit berkunjung ke tempat yang sudah mereka datangi. Tentu, rasa penasaran yang membuat itu terjadi.

Tapi, faktanya tak semua tempat yang mereka ulas mengenai rasa menu yang disajikan yang menurut mereka enak, belum tentu selaras dengan lidah kami. Ada yang salahkah dengan lidah mereka?

Tidak. Itu semua terkait dengan selera. Selera ini tidak ada standar baku penilaiannya. Yang jadi standarnya paling terletak pada suka atau tidak. Sama semisal ada yang suka pedas, pedas sedang, sangat pedas, dan seterusnya.

Kemudian apakah orang yang tidak suka pedas ketika disuruh menikmati masakan yang tidak pedas akan suka?

Tentu tidak. Penyuka pedas pasti akan menyukai masakan pedas pula. Ini yang kami maksudkan dengan selera. Dan selera tiap orang itu beda-beda. Tergantung dari kebiasaan, lokasi, adat istiadat, geografis, dan faktor lainnya.

Salahkah konten kreator menilai sebuah masakan?

Bisa iya bisa tidak. Jika itu sekadar tontonan dan hiburan, tak masalah. Namun jika ternyata membuat tempat yang bersangkutan terkena imbas akibat konten, itu yang masalah dan menjadi masalah.

Bagaimana sikap kita?

Kami lebih suka menjadi dua kepribadian ketika melihat suatu masalah. Kami selalu menempatkan posisi bagaimana jika kami berada di posisi itu.

Misal, kami berandai-andai menjadi pemilik restoran dan kafe. Jika ada konten yang negatif, ya kita terima masukkan itu untuk diolah lagi biar bisa positif. Apa-apa yang kurang, wajib dilengkapi. Bukankah pebisnis juga memerlukan pelanggan? Tak ada salahnya mendengar masukan, apalagi dari pelanggan.

Kemudian kami berubah kepribadian menjadi si konten kreator, mereview masakan. Jika menurut lidah kurang cocok, cukup komunikasikan dengan gesture. Penonton pasti sudah tahu dan paham kode kita. Tak perlu lah sampai menjelek-jelekkan. Benar, kita yang punya uang. Apapun bisa kita beli. Mau makan di mana saja, semahal berapapun, bisa kita beli.

Tapi, tidak begitu juga.

Sesekali bijak diperlukan. Keberlangsungan tempat usaha orang juga harus dipertimbangkan. Toh jika ternyata hasil konten kita membuat tempat itu tambah ramai, tentu ada sebuah kebahagiaan dan kepuasan yang tak gugur di rasa.

Maka, bijak-bijaklah mengarungi samudera media sosial. Tak ada tepian di sana. satu-satunya batasan adalah sesuatu yang disebut: ADAB. Dan itu yang tidak bisa dibeli dengan uang. Seberapapun. (*)

  • Deni Sulaksono

    Mediapreneur yang masih berupaya memantaskan diri dengan menyerap ilmu sebanyak-banyaknya.

POPULER
Search