HOAKS adalah kabar bohong atau informasi yang tidak benar dan tersebar luas di tengah masyarakat. Bahkan tidak sedikit akhirnya masyarakat yang memiliki pola pikir dengan basis informasi bohong. Sehingga perlu upaya atau metode strategis untuk meminimalisir bahkan menanggulangi persebaran hoaks di kalangan masyarakat.
Muhammad Aswad selaku fasillitator Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo), dengan fokus bahasan pada Kelas Prebunking membeberkan dua metode penanganan hoaks.
“Penanganan hoaks sendiri ada dua metode, yakni Debunking dan Prebunking,” jelasnya saat diwawancarai Rabu (27/9).
Mari kita ulas satu persatu. Debunking adalah klarifikasi informasi yang diduga hoaks. Jadi setelah hoaks tersebut tersebar, Debunking hadir sebagai bantahan atau klaim yang jelas terhadap suatu informasi lewat hasil pemeriksaan fakta.
Sedangkan Prebunking sendiri memiliki arti proses membongkar kebohongan serta upaya untuk menanggulangi hoaks sebelum beredar di masyarakat. Sehingga Prebunking hadir sebagai warning atau peringatan.
Sederhananya, Debunking merupakan upaya yang perlu dilakukan ketika hoaks sudah menyebar, sehingga perlu mengambil tindakan agar tidak tersebar lebih jauh.
Sedangkan Prebunking adalah upaya yang dilakukan sebelum hoaks tersebut tersebar, seperti mencegah publikasi informasi-informasi bohong.
Dari kedua metode ini, Prebunking dianggap lebih efektif karena mampu mencegah hampir separuh dari persebaran hoaks dan menjangkau keseluruhan masyarakat untuk mengantisipasi serangan informasi bohong.
“Semestinya, Prebunking lebih efektif dibanding Debunking, karena Debunking tidak bisa menjangkau banyak orang apalagi setelah hoaks menyebar, sedangkan Prebunking mampu menahan hampir separuh dari persebaran hoaks,” ungkap Aswad.
Bahkan Aswad menganalogikan bahwa Prebunking sebagai vaksin bagi masyarakat agar tidak mudah terpapar bahkan kebal akan serangan-serangan penyakit (baca: hoaks).
Lebih lanjut, bertepatan dengan event demokrasi lima tahun sekali, tentunya memicu persebaran hoaks kembali, Aswad mengistilahkan dengan Hoaks Lama Bersemi Kembali (HLBK).
Sehingga, Prebunking hadir sebagai upaya antisipasi terhadap persebaran hoaks di kalangan masyarakat khususnya yang masuk dalam kategori pemilih pemula dan Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS).
“Selain menyasar pada pemilih pemula, kami juga menitikberatkan pada calon KPPS di RT, sehingga saat ini Mafindo sedang merancang MOU dengan KPU, Bawaslu, dan Forum RT untuk melakukan pelatihan di sana dengan harapan informasi Prebunking dan cek fakta lebih masif,” ungkapnya.
Walaupun begitu, Aswad kembali menegaskan bahwa kalangan lain juga perlu tinjauan khusus terkait antisipasi hoaks di era Pemilu, baik lansia maupun seluruh lapisan masyarakat, terutama rekan-rekan media yang mampu menjadi pelopor implikasi dalam menerapkan metode Prebunking di berita harian.
“Harapannya media menjadi pelopor dan berdampak bagi masyarakat, sehingga mampu mengembalikan trust publik kepada media masa kini,” jelasnya.
Bukan hanya itu, upaya sosialisasi melalui media sosial turut digencarkan, karena 167 juta warga Indonesia adalah pengguna media sosial.
“Kami akan memperbanyak sosialisasi di Medsos, Mafindo tidak bisa melakukan edukasi sendiri, perlu keterlibatan massa,” paparnya.
Aswad kembali mengingatkan kepada khalayak bahwasannya hoaks ada di mana-mana, hoaks berada di sekeliling kita, sehingga kita harus bijak dan paham akan informasi yang tersebar hari ini, besok, dan seterusnya.
“Kasus-kasus persebaran hoaks kini kian marak, informasi bohong terkait politik juga bisa masuk ke siapa saja, bisa tersebar melalui grup Whatsapp, Screenshoot Whatsapp, tayangan video yang dibuat-buat, maka perlu pemahaman dan sikap bijak masyarakat,” tutupnya. (dinda/ds)