BUKAN dalam hitungan berapa purnama juga, hanya beberapa pekan atau bulan, kami sudah lama tidak nongkrong bareng. Dan ada benarnya juga mitos itu, kalau merencanakan sesuatu, hampir dipastikan 99% batal. Ada saja alasan.
Berawal dari berbalas-balasan komentar di WAG, mendadak kami menjadwalkan ngopi. Jelang sore, di sebuah kedai kopi di bilangan Juanda Samarinda. Usai basa-basi menanyakan aktivitas masing-masing, diskusi pun melebar kemana-mana. Satu topik belum selesai, berganti tema lain. Mulai dari berbagi pengalaman liputan di lapangan, hingga coaching clinic jurnalistik tipis-tipis.
Maklum, secara umur dan pengalaman, saya dan seorang rekan terbilang punya jam terbang cukup tinggi, tapi tidak sampai melampaui lapisan awan teratas. Dua rekan lainnya, masuk Generasi Z, terbilang junior. Cukup jauh.
Era nya pun beda. Zaman kami, era dimana media cetak masih semok-semoknya. Di sekarang, era media cetak dikeroyok media daring. Tentu, bobot dan bebet dari lintas era, menyisakan cerita pengalaman sendiri-sendiri.
Tapi bukan itu yang hendak penulis ceriterakan di sini.
Ada topik menarik: seorang rekan junior kami tiba-tiba celetuk “Abang percaya hantu kah? Kalau aku dulu iya, penakut. Tapi setelah mendengar berbagai informasi, hantu itu ternyata hanya output ilusi dikarenakan kondisi psikologis dalam suasana ketakutan”. Kurang lebih begitu ucapan yang penulis tangkap.
Mulai, perdebatan sengit pun terjadi.
3 versus 1 orang yang hakul yakin bahwa hantu, santet, ilmu kebal, itu tidak ada. Pun ada yang menampilkan atraksi menyayat tangan dengan sebilah mandau namun tidak meninggalkan luka, itu ada triknya. Begitu dia bilang dan yakini seribu persen.
Penulis hanya senyum-senyum mendengarnya. Kami bilang, kalau memang ilmu kebal itu trik, kenapa dia tidak mencoba sendiri menyayat tangannya dengan mandau itu. Saya tanya, kenapa dia tidak mencoba ke orang tadi, lalu mencoba ke lengan sendiri. Kalau ternyata lengan dia memang baik-baik saja sama seperti orang itu, maka keyakinan saya akan ilmu kebal itu pasti saya musnahkan.
Tapi, biasa. Tipikal Generasi Z, tidak semua memang namun hampir kebanyakan, mereka ngotot mempertahankan pendapat. Meskipun dia tidak mencoba atau mengalami sendiri. Umumnya, mereka hanya berasumsi dari mendengar, membaca, menonton konten dari berbagai platform media, untuk kemudian disimpulkan sendiri bahwa sesuatu yang meski ia sendiri belum mengalami, menjadi sesuatu yang benar, dan wajib dipertahankan. Kalau ada yang membantah, mereka sudah siap dengan bantahan lain.
Sebenarnya, dia tidak salah, tapi juga tidak benar. Kami pun mungkin begitu menurut penilaiannya. Tapi, argumen kuat kami adalah, kami sudah pernah mengalami sendiri soal itu. Ya ketemu hantu, ya ketemu orang yang kena santet bahkan mengalami sendiri, sampai ilmu mistik lainnya.
Sementara dingsanak satu ini, dia mengaku, dulu pernah melihat hantu yang kemudian belakangan hari ia bantah sendiri. Bahwa saat itu, yang ia temui sosok perempuan berpakaian putih dengan ujud tidak begitu jelas melesat ke udara, ia bantah. Bahwa itu adalah output halusinasinya. Dengan PeDe dia bilang, sekarang sudah tidak pernah takut hantu lagi. Sebab, hantu memang tidak ada. Menurutnya.
Agar diskusi tidak melebar, saya mencoba menghentikan pembicaraan. Percuma berdebat atas sesuatu yang orang tersebut tidak pernah mengalami. Apalagi hanya mengandalkan rujukan “Ujar si Anu”. Malah, saking kesalnya, satu kawan menantang kawan itu untuk pergi ke Gunung Lipan di kawasan Samarinda Seberang, daerah Kelurahan Harapan Baru. Tidak juga kawan itu menyetujui atau menolak challenge tersebut.
Diskusi ini, mengingatkan penulis akan postingan netizen di medsos X yang menantang para dukun untuk menyantetnya. Penulis belum tahu siapa netizen itu. Tapi kayaknya, influencer. Dia bahkan memposting fotonya lengkap dengan menuliskan nama, alamat, umur, dan tanggal lahir. Barang siapa yang bisa menyantetnya, dia bakal kasih 1 mobil Alphard.
Seperti biasa, netizen yang kemunginan Generasi Z, membalas dengan satir. Ada yang bilang kalau memang dukun santet itu ada, kenapa tidak menyantet presiden Israel, kenapa Indonesia dijajah ratusan tahun, kenapa negara membeli senjata untuk mempertahankan negara, dan komentar sejenisnya.
Begitu ada yang komentar: tidak perlu segitunya menantang, kamu belum mengalami, hingga jangan takabur, langsung diserang komentar bahwa yang percaya begituan mereka sebut skizo. Saya belum googling, apa itu definisi skizo. Nantilah saya cari tahu.
Maksud kami, kalau memang tujuannya hendak mengedukasi warga agar tidak tertipu praktik dukun palsu, coba tiru cara Pesulap Merah. Dia gentle, langsung head to head ke konten kreator yang mengaku dukun. Dengan begitu, orang-orang teredukasi soal hal-hal beginian. Bahwa, jangan mudah percaya atas akuan seseorang. Bahwa, ini loh bukti bahwa seseorang itu penipu.
Hak tiap orang tidak mau percaya akan santet, hantu, bahkan tidak percaya adanya Tuhan. Terserah. Tapi, plis. Jangan berhenti belajar dan mencari tahu sendiri kebenarannya sampai merasakan dan mengalami sendiri. Saya paling kurang setuju atas pendapat orang yang menyimpulkan sesuatu berdasar “Ujar si Anu, kata si Fulan”. Kalau berdasar itu, berarti mainnya kurang jauh. Tidurnya kurang malam. Kopinya masih sachetan namun berlagak hari-hari sruput kopi pahit.
“Sudah, tidak perlu berdebat bahwa cabai itu pedas kepada orang yang belum pernah memakannya” tutup saya mengakhiri diskusi.
Memang, hantu di zaman sekarang sudah tidak ada harga dirinya. (*)