Rejekiku, Tidak Ditentukan Latar Pendidikan

YANG menjadi pucuk pimpinan perbankan dari lulusan Sarjana Pertanian, ada.

Menduduki top level manajemen di sebuah perusahaan, pun juga banyak.

Lantas, salahkah mereka memilih jurusan tersebut toh jika pada akhirnya berkarir di dunia berbeda dengan disiplin pendidikannya?

Banyak sudut pandang jika membahas soal ini.

Fakta di atas merupakan realita. Bahwa tidak semua harus seideal begitu. Tidak semua harus berjalan seperti yang diinginkan atau dimaui.

Berkuliah untuk mendalami satu konsep disiplin ilmu, itu juga benar. Hingga diharapkan menghasilkan produk manusia yang benar-benar menguasai akan satu hal.

Tapi jangan berhenti berpikiran, beranggapan, atau malah memaksakan bahwa seorang Sarjana Pendidikan atau apapun jurusan yang dipilih atau terpaksa memilih itu, harus berkarir sesuai bidangnya.

Dunia pendidikan, atau kuliah itu multi dimensi. Banyak hal yang kita dapat di bangku kuliah.

Menjadi tahu akan satu hal ilmu, itu sudah pasti didapat selama kuliah. Tapi ingat juga, tidak semua ilmu hanya didapat dari bangku kuliah. Banyak hal mengenai sesuatu yang malah tidak diajarkan di bangku kuliah.

Dunia kampus adalah sebuah perabadan. Di mana, kampus ibarat sebuah bedeng-bedeng yang kelak menumbuhkan beragam bibit unggul.

Di dunia kampus pula, awal seseorang membina dan membangun relasi yang kelak pasti berguna dan bermanfaat bagi tiap mahasiswa. Maka, mendapatkan link sebanyak-banyaknya saat berkuliah adalah investasi sebenarnya yang harus dicapai.

Kembali kepada apakah kerja mesti sesuai jurusan?

Terserah pribadinya.

Tak ada yang memaksa dan boleh memaksakan itu sesuatu yang harus.

Dunia kerja, terkecuali mungkin di lingkup pemerintahan, banyak perusahaan yang tidak memandang basic pendidikan sebagai dasar penilaian untuk penerimaan sebagai karyawan.

Mau dari berbagai jurusan apapun, sepanjang manusianya berkompeten untuk mengisi sebuah posisi, why not?

Toh misalkan posisi mengharuskan dari satu disiplin ilmu, namun ternyata manusianya tidak sesuai spesifikasi perusahaan, ya ditolak juga.

Bisa disimpulkan, bahwa mau berlatarbelakang apapun, jika sesuai spesifikasi yang dicari, ya pasti diterima kerja. Atau malah menciptakan lapangan kerja sendiri sesuai apa yang dia mau meski itu bertolak dengan latar belakang pendidikannya.

Tahu, paham, mengerti akan sebuah ilmu pendidikan saja, itu belum cukup. Yang prioritas dan utama adalah: mana buktinya??? Mana hasil karya atas ilmu yang diperoleh?

Jika hanya paham, atau sekadar hapal ilmu berdasar buku, siapapun bisa. Toh tinggal buka buku saja jika ingin melakukan sesuatu. Semua orang bisa.

Tapi yang paling penting, sekali lagi, mana buktinya bahwa engkau paham? Semestinya yang bersangkutan mencetak buku sendiri atas penerapan buku yang dibaca. Bukankah yang selama ini ia baca dan pahami adalah hasil karya orang lain?

Maka, terlalu sempit ruang berpikirnya jika bekerja mesti satu rel dengan latar pendidikan.

Tentu ini tidak bisa dihantam rata di dunia kerja. Ada hal-hal spesifik yang memang harus sesuai dengan latar pendidikan.

Yang kami maksud di sini adalah: biarlah tiap pribadi mengembangkan dirinya. Jangan dipenjara kreativitas di luar latar pendidikannya. Jangan menyepelekan mereka yang berprofesi atau memilih pekerjaan sesuai apa yang ia tahu, bisa, dan dikuasai.

Pengetahuan, kebisaan, dan penguasaan itu didapatkan seiring perjalanan seseorang. Inilah yang dinamakan pengetahuan.

Maka jangan takjub ketika sebuah pimpinan bahkan pemilik perusahaan adalah yang SD saja tidak khatam, tapi karyawannya malahan lulusan S1 maupun S2. (*)

  • Deni Sulaksono

    Mediapreneur yang masih berupaya memantaskan diri dengan menyerap ilmu sebanyak-banyaknya.

POPULER
Search