PELECEHAN seksual banyak terjadi di Indonesia, hal ini dikarenakan minimnya pengetahuan dan keberanian untuk membela diri, mencegah, maupun melaporkan tindakan pelecehan seksual di masyarakat. Pelecehan seksual adalah penyalahgunaan hubungan perempuan dan laki-laki yang merugikan salah satu pihak (karena dilecehkan maka direndahkan martabatnya). Kejahatan asusila atau moral offences dan pelecehan seksual atau sexual harassment merupakan dua bentuk pelanggaran atas kesusilaan yang bukan saja merupakan masalah hukum nasional negara, melainkan telah menjadi masalah hukum semua negara di dunia.
Dalam hal terjadi kasus pelecehan seksual dan korban langsung melaporkannya ke pihak berwajib, maka kasus tersebut segera ditangani dan pelaku dapat segera ditangkap. Sayangnya, usaha tidak senantiasa membuahkan hasil karena realita menunjukkan bahwa dari ribuan kasus pelecehan seksual yang telah dilaporkan, masih banyak yang berakhir dengan ketidakadilan. Dimana pelaku tidak menerima hukuman yang seharusnya ia terima, atau pelaku dan korban diminta untuk berdamai dengan cara “menikah”.
Dalam kehidupan masyarakat, seorang korban pelecehan seksual kerap menerima hinaan dan cibiran. Mereka dianggap telahkotor dan tidak suci, sehingga alih-alih mendapatkan keadilan dan pembinaan mental, korban justru mendapatkan sanksi sosial yang akan membuat mereka semakin trauma dengan dunia luar.
Maraknya kasus pelecehan seksual di Indonesia menjadi tanggung jawab pemerintah dan berbagai lapisan masyarakat untuk mengimplementasikan regulasi yang ada. Namun, sejauh ini implementasinya belum optimal karena kurangnya pemahaman masyarakat mengenai perkara pelecehan seksual. Pelecehan seksual merupakan fenomena gunung es, mengingat kasus-kasus yang muncul di permukaan hanyalah sebagian kecil dari banyaknya kasus yang benar-benar terjadi di dunia.
Di Indonesia, peraturan yang mengatur tentang tindakan pelecehan seksual yaitu Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS), Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguran Tinggi (Permendikbudristek 30/2021), Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (UU PKDRT), Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, serta Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA).
Nampaknya, kehadiran peraturan peraturan tersebut tidak serta merta mampu membasmi tindakan asusila. Pelecehan dapat terjadi di mana saja, kapan saja, dan kepada siapa saja. Sehingga perlindungan terhadapnya membutuhkan perhatian yang ekstra. Hadirnya beberapa regulasi menjadi suatu terobosan dalam menangani kasus pelecehan seksual. Namun, beberapa regulasi dan kebijakan yang ada belum mampu terealisasi untuk mengatasi kasus pelecehan seksual. Sampai saat ini, regulasi tersebut tidak adanya jaminan bahwa perkara pelecehan seksual tidak terulang kembali. Tentunya hal ini menjadi fokus utama sebagai bentuk proses pencegahan dan pemulihan korban pelecehan seksual. Kemudian, perlunya melakukan edukasi baik terhadap aparatur negara maupun masyarakat agar menjunjung tinggi perspektif adil gender sehingga tidak mendiskriminasi dan memberikan stigma buruk mengenai korban pelecehan seksual.
Halaman Berikutnya