ADA begitu banyak jumlah para pembantu presiden kita saat ini. Ada penasihat khusus, utusan khusus, dan staf khusus. Jumlahnya? Cek sendiri.
Tentu, ada anggaran buat mereka itu. Setidaknya, anggaran operasional. Tapi, bukan soal jabatan itu yang hendak kita bahas. Melainkan paradoksnya.
Ya, paradoks. Satu sisi, presiden bilang pemerintah harus hemat anggaran. Maka, dipangkaslah mata anggaran yang dinilai tidak begitu prioritas.
Oke, sampai sini, siapapun pasti setuju. Betapa program yang kurang menyentuh kesejahteraan rakyat sejatinya memang harus dipangkas. Bahkan kalau bisa, tidak diusulkan lagi di masa mendatang. Agar, duit rakyat yang dikelola pemerintah, benar-benar bermanfaat.
Belum seumur jagung, langkah ini sudah berdampak. Di beritakan, para pucuk kementerian terduduk lesu. Harus putar otak bagaimana dengan anggaran yang ada, program harus berjalan. Tentu ini ada konsekuensinya. Maka, langkah pertama adalah menyetop kontrak pegawai.
Di media sosial, sudah ada konten soal hari terakhir mereka bekerja di pemerintahan. Komentar bermunculan. Menceritakan hal serupa terjadi kepada dirinya, suaminya, atau kawannya.
Bila boleh disimpulkan, netizen beranggapan program makan bergizi gratis jadi pemicunya. Alih-alih beri makan buat anak, pendapatan orangtuanya malah dihentikan.
Bukankah lebih baik program makan gratis itu ditiadakan, agar para orangtua tetap bekerja dan berpenghasilan Begitulah pendapat orang kebanyakan.
Info seberapa parah kondisi uang kas negara sampai harus keluar kebijakan pemangkasan anggaran, sangat susah dicari literasinya.
Publik disuruh menerka-menerka sendiri, menerawang sendiri, hingga menyimpulkan sendiri. Bahwa uang negara tersedot untuk membayar utang, proyek IKN, dan seterusnya. Uang hasil pungutan pajak masih kurang, dan seterusnya lagi. Bahkan nilai pajak pun di tahun ini, atas nama Undang-Undang, harus dinaikkan. Aneh, katanya Undang-Undang dibuat, disusun, dan disahkan oleh para wakil kita. Tapi, kapan ya rakyat dilibatkan soal itu?
Pemangkasan anggaran memang isu tidak populer. Tapi harus dipilih. Pilihan buruk dari yang terburuk. Tapi benarkah tidak ada cara lain?
Penghematan duit negara memang perlu didukung. Tapi yang bikin nyesek, kenapa presiden terus melantik pejabat-pejabat baru? Bukankah itu berbanding terbalik dengan program yang mereka pilih tadi.
Lagipula, mereka yang mengisi jabatan tersebut, bisa dipastikan tidak pernah beli BBM eceran, apalagi kasbon di warung tetangga. Pasti tidak pernah mendengar meteran listriknya bunyi sepanjang hari, yang tak ubahnya kayak suara dari dada Ultraman yang hampir kalah melawan monster.
Mereka orang berduit, punya aset, dan buku-buku tabungan yang berserakan. Beda dengan rakyat yang untuk mengurus dana bansos saja harus antre seharian. Nilainya pun tak seberapa. Tapi bagi rakyat, duit segitu bisa menambah napas sampai pekan selanjutnya.
Manfaat pemangkasan anggaran memang belum dirasakan rakyat. Sebulan, setahun, atau sampai Pemilu selanjutnya, kita tidak tahu.
Atau, mungkin sudah saatnya kita berpendapat bahwa mereka yang mengisi jabatan dengan embel-embel khusus itu jauh lebih membutuhkan pekerjaan ketimbang kita. (*)

