Muharram 1447 H: Hijrah Menuju Masyarakat Religius yang Lebih Berdaya

SETIAP tanggal 1 Muharram, umat Islam di seluruh dunia memperingati Tahun Baru Islam—sebuah momentum yang bukan hanya seremonial, melainkan titik balik untuk melakukan perenungan dan pembaruan diri. Di tengah arus zaman yang begitu cepat berubah, Tahun Baru Islam 1447 Hijriyah mengajak kita kembali pada makna terdalam dari hijrah: berpindah dari kondisi lama menuju keadaan yang lebih baik, bukan hanya secara fisik, tapi secara spiritual, sosial, dan moral.

Hijrah adalah soal kesadaran. Ia bukan sekadar romantisme sejarah Nabi Muhammad SAW dari Makkah ke Madinah, tetapi cermin dari perjalanan batin kita sebagai manusia yang ingin tumbuh, ingin berubah, ingin menjadi lebih dekat kepada Tuhan dan lebih bermanfaat bagi sesama. Dan hari ini, hijrah menjadi panggilan yang amat relevan bagi kita, khususnya masyarakat Kalimantan Timur.

Kalimantan Timur adalah tanah yang diberkahi. Di balik kekayaan alam dan keragaman budaya yang dimilikinya, provinsi ini juga dikenal dengan karakter masyarakatnya yang religius dan toleran. Nilai-nilai Islam tumbuh secara alami dalam kehidupan sehari-hari—dari masjid-masjid yang ramai saat Subuh, hingga kegiatan majelis ilmu yang digerakkan oleh para tokoh masyarakat, pemuda, dan ibu-ibu pengajian.

Namun kita juga menyadari, tantangan zaman tidak bisa diabaikan. Modernisasi, arus informasi digital, serta perubahan pola hidup perlahan mulai menggeser nilai-nilai tradisional dan religius kita. Banyak yang kehilangan arah, terutama generasi muda yang gamang mencari identitas di tengah dunia yang serba instan. Maka, momen 1 Muharram ini harus menjadi alarm spiritual yang membangunkan kesadaran kolektif: bahwa kita harus menjaga ruh religiusitas sebagai fondasi utama membangun masyarakat yang kuat dan beradab.

Tahun Baru Islam juga menjadi kesempatan untuk merefleksikan bagaimana kita memaknai agama dalam kehidupan sosial. Apakah kita sudah menjadikan nilai-nilai Islam sebagai pendorong perubahan? Sudahkah masjid bukan hanya menjadi tempat ibadah, tetapi juga pusat pemberdayaan? Sudahkah para pemuka agama, guru ngaji, dan tokoh masyarakat menjadi cahaya di tengah umat, bukan sekadar simbol?

Kita perlu melakukan hijrah kolektif sebagai masyarakat: dari ritual ke spiritual, dari wacana ke tindakan, dari saling curiga menjadi saling percaya. Kita perlu hijrah dari sekadar menghafal doa-doa, menjadi pengamal nilai-nilai. Dari hanya ramai di awal Muharram, menjadi konsisten sepanjang tahun dalam menjaga kebaikan.

Masyarakat religius bukanlah masyarakat yang sibuk menilai keimanan orang lain, tapi yang sibuk memperbaiki dirinya sendiri dan mengajak sesama menuju kemuliaan. Ia adalah masyarakat yang rukun, yang santun dalam bicara, jujur dalam usaha, dan adil dalam bertindak. Di tengah zaman yang banyak menonjolkan kepentingan pribadi dan materi, masyarakat religius adalah oase yang meneduhkan dan memberi harapan.

Tahun Baru Islam bukan hanya milik para ustaz, kiai, atau tokoh agama. Ia adalah milik semua: guru, buruh, petani, pelajar, bahkan pemimpin daerah. Semua memiliki kesempatan untuk hijrah, untuk tumbuh, untuk menjadi lebih baik.

Mari kita jadikan 1 Muharram 1447 Hijriyah ini sebagai titik awal kebangkitan spiritual masyarakat Kalimantan Timur. Mari kita kembalikan makna hijrah sebagai semangat perubahan, bukan sekadar seremoni. Kita tidak butuh gebyar yang mewah, tapi gerakan yang nyata—gerakan kebaikan dari rumah ke rumah, dari hati ke hati.

Hijrah itu sunyi, tapi dampaknya abadi. Mari kita mulai dari diri sendiri.

Selamat Tahun Baru Islam 1447 Hijriyah. Mari hijrah bersama, menuju Kalimantan Timur yang religius, damai, maju untuk mewujudkan generasi emas yang diimpikan. (*)

(Tulisan di atas adalah pandangan pribadi penulis dan menjadi tanggung jawab penulis yang bersangkutan)

  • Ketua Forum Satunusa Kaltim. Pelaku sekaligus penikmat diskusi politik di warung kopi.

POPULER
Search