Bersih, Kenapa Takut Risih

SAYA tergelitik dengan ucapan Faisal. Dalam sebuah pertemuan, Kepala Diskominfo Kaltim itu bilang, bukan sulit ditemui, tapi saat wartawan datang, direksinya keluar.

Saat itu, Diskominfo Kaltim sedang jadi jembatan antara media dengan perusda dan BUMD lokal. Umumnya, dinas itu jadi corong bagi kegiatan OPD. Saban Jumat, di kantornya, pasti ada jumpa pers rilis program OPD. Bergiliran, tiap Jumat, satu OPD.

Kemarin, spesial. Dilaksanakan di hotel berbintang. Apa mungkin karena dengan perusda dan BUMD ya? Heuheuheu.

Dalam pembukaannya, pria yang memang media darling itu mencoba meluruskan bahwa tidak susah mencari informasi soal progres unit-unit usaha milik Pemprov Kaltim itu.

Tapi, apa yang coba ia luruskan itu, kami menafsirkan beda, itu bukan sebuah pelurusan. Melainkan sindiran sangat-sangat tipis kepada perusda dan BUMD.

Dari hasil diskusi terungkap, ternyata biro ekonomi Pemprov Kaltim punya macam-macam tools yang menjadi akses informasi para perusda itu. Termasuk perusda juga ada. Web, aplikasi, maupun media sosial.

Okelah, mereka punya itu. Tapi yang tahu kan terbatas. Bukannya media tak mau Googling kemudian menyadur berita dari web maupun medsos mereka.

Sebab umumnya, informasi yang diberikan terbatas. Kalau untuk bahan advertorial, it’s ok. Tak masalah. Tapi, media perlu pendalaman dan pengayaan isi berita. Salah satu yang bisa didapat ialah dengan wawancara langsung.

Kadis pun setuju soal itu. Agar khalayak jadi lebih tahu, makanya perlu sosialisasi. Agar semua tahu, pintu mana yang mau diketuk untuk dapat informasi.

“Sekali-sekali perusda memang harus ngopi dengan wartawan,” ujarnya.

Saya suka dengan gaya komunikasi Faisal. Berbagai saran, atau quote yang ia sampaikan melalui medsos pribadinya, selalu saya spill.

Ngopi bareng, terlihat sederhana. Itu bagi yang tak paham.

Bagi saya yang juga seorang marketing, betapa ngopi bareng itu jadi sarana kita dengan klien agar lebih karib lagi. Inilah momen menjaga silaturahmi.

Ketika terbangun hubungan emosional, maka segala sesuatu hal, bisa segera tertangani dengan mudah.

Apa yang saya tangkap dari gaya komunikasi Faisal adalah ia mau menyampaikan: ayolah, para pejabat, para direksi, jangan hindari wartawan.

Sampai-sampai Faisal nyeletuk, biarkan aja wartawan tanya panjang lebar, cerita kesana kemari. Dengarkan saja. Nanti capek sendiri.

Ada benarnya konsep Faisal. Sebab, jika wartawan mendapat kesulitan menemui narasumber, maka instingnya makin bangkit. Semakin dihalangi, daya kreatif wartawan mencari data, semakin besar pula. Jangan lupa, wartawan bisa mencari dan mengorek informasi dari mana saja. Ketika hak jawab narasumber tidak digunakan ketika dikonfirmasi wartawan, maka gugurlah rukun dan kewajiban cover both side. Berita layak naik. Sebuah kerugian bagi narasumber.

Perusda, BUMD, sejatinya adalah milik rakyat Kaltim juga. Semua warga Kaltim berhak tahu. Apalagi, ada aturan mengenai keterbukaan informasi. Kecuali informasi yang dikecualikan, untuk informasi umum warga berhak tahu. Dan ketika dimintai informasi, lembaga pemerintahan wajib menyajikannya.

Di tengah maraknya media sosial, informasi apa saja bisa didapat. Info positif maupun negatif, berseliweran. Bedanya, produk jurnalis dengan media sosial, ada pada kode etik. Sangat diharamkan produk jurnalistik memuat opini pribadi. Apalagi ada muatan kepentingan pribadi.

Hal itu yang seharusnya diketahui narasumber. Jika tak puas dengan hasil sebuah pemberitaan, disediakan hak jawab. Jika kurang puas lagi, silakan adukan ke Dewan Pers.

Maka, ada benarnya istilah yang pernah digaungkan dan masih relate sampai sekarang: Kalau Bersih, Kenapa Risih. (*)

(Tulisan di atas adalah pandangan pribadi penulis dan menjadi tanggung jawab penulis yang bersangkutan)

  • Deni Sulaksono

    Mediapreneur yang masih berupaya memantaskan diri dengan menyerap ilmu sebanyak-banyaknya.

POPULER
Search