SAMARINDA. Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Samarinda menyelenggarakan agenda webinar dengan tajuk Petaka Maut di Balik Krisis Perubahan Iklim di Kaltim, Rabu, 18 Mei 2022. Dalam kegiatan yang fokus membahas tentang perubahan iklim di Kaltim tersebut diisi oleh Ketua Harian Dewan Daerah Perubahan Iklim (DDPI) Kaltim, Prof. Dr. Deddy Ruhiyat, Dosen Fakultas Kesehatan Masyarakat UNMUL, Dr. Ike Anggraini, dan Anggota Majelis Etik AJI Samarinda, Edwin Agustyan.
Pada dasarnya deforestasi di Kabupaten Berau dan beberapa daerah lainnya di Kalimantan Timur, terbukti telah meningkatkan suhu maksimum harian rata-rata hampir satu derajat celsius dalam 16 tahun. Kenaikan suhu ini dikaitkan dengan meningkatnya risiko kematian dini di populasi hingga 8 persen. Bahkan dalam beberapa tahun terakhir, suhu di Berau ini terpanas dibanding daerah lain di Indonesia.
Perubahan iklim ini jarang diketahui publik, bahkan tak sedikit yang membawa permasalahan ini ke arah mitos atau mistis. Padahal riset mengungkapkan di balik pembabatan hutan memicu lonjakan suhu di Kabupaten Berau dan wilayah Kaltim. Muara dari aksi tersebut justru memicu angka kematian.
Dalam agenda tersebut Prof. Deddy Ruhiyat memaparkan, penerapan perkebunan berkelanjutan termasuk pengelolaan area bernilai konservasi tinggi dapat menjadi upaya dalam penurunan emisi carbon yang harus dilakukan oleh pengusaha perkebunan.
“Harus ada perubahan penggunaan energi dari sumber daya fosil ke sumber daya terbarukan, apalagi untuk penggunaan industri. Ada sekitar 1,3 juta hektar perkebunan sawit di Kaltim, dan pada tahun 2016 Gubernur beserta Bupati sepakat membangun perkebunan lahan berkelanjutan. Hal ini dirasa sebagai upaya agar masyarakat tidak lagi menilai negatif, karena pemanfaatannya yang begitu besar sebagai energi alternatif,” ujarnya.
Ditambahkannya, jika selama ini Pemprov Kaltim menjalankan perkebunan berkelanjutan dengan kriteria area konservasi tinggi dalam pengelolaan, adalah harapan untuk menuju Kalimantan Timur harus menjadi daerah hijau. Dan ini bisa menjadi langkah dalam menurunkan perubahan iklim di Kaltim.
Selain itu di kesempatan sama, Ike Anggraini dalam penelitian menyatakan ada 10 penyakit besar dan 10 penyebab kematian dari serangan panas akibat perubahan suhu. Dan kematian akibat suhu panas masih minim. Walaupun masih dikategorikan minim tapi tetap pemerintah harus menanggapi reaksi tersebut secara langsung.
“Jangan sampai penyebab-penyebab perubahan iklim ini akan berdampak lebih besar kepada kehidupan masyarakat, khususnya di Kaltim,” ucapnya
Sedangkan Edwin Agustyan dari AJI menanggapi peran media saat ini jarang memberitakan tentang lingkungan. “Seharusnya media bisa diharapkan memberikan edukasi kepada masyarakat melalui berita tentang dampak lingkungan, perambahan hutan, ilegal fishing, tambang, dan lain-lain di mana adalah penyebab daripada perubahan iklim yang terjadi,” jelasnya.
Disebutkannya, jika suhu rata-rata di Kaltim tertinggi 0,95 derajat perdekade dan terendah di Bima 0,01 derajat. Karenanya Kaltim menjadi penyumbang devorisasi, dan penerima dampak terbesar. Peran masyarakat masih belum percaya dengan perubahan iklim itu disebabkan oleh 18 persen manusia.
Sebelum diakhiri, Edwin berharap isu lingkungan harus dibahas, apalagi soal perubahan iklim masih sangat kurang sekali. “Media harus berperan dalam pengedukasian terhadap masyarakat, jangan selalu membahas tentang penanganan bencana saja, tetapi tidak pernah membahas tentang penyebab dari bencana tersebut,” tutupnya. (sur)