GIBRAN, meski tidak kaget-kaget amat, digadang dan disiapkan capres Prabowo Subianto sebagai pendampingnya nanti.
Begitulah isu hangat yang mengalir sekarang.
Namun, masih ada perintang. Pasalnya, usia putra sulung Presiden Jokowi itu masih 36 tahun. Sementara, batas minimal usia capres/cawapres 40 tahun.
Nah, aturan itulah yang oleh sebagian kelompok diminta untuk diubah. Dari nada-nadanya, Mahkamah Konstitusi (MK) sepertinya bakal menyetujui perubahan pembatasan umur tersebut. Dan apakah MK nanti yang membuat putusan, kita tidak tahu.
Pasalnya, fungsi MK, tidak dalam ranah membuat putusan dan mengganti UU itu.
Menurut para ahli hukum tata negara, salah satunya Pak Mahfud MD, domain MK hanyalah sebatas menerima atau menolak usulan yang diusulkan kelompok yang mengusulkan perubahan usia capres dan cawarpres. Dan yang mengubah UU itu ada di ranah legislatif.
UU hanya bisa diubah melalui UU, bukan melalui putusan lembaga lain, apalagi MK.
Koreksi jika salah.
Dan, katakanlah, MK menerima usulan kelompok itu, maka tidak serta merta aturan itu karam.
Bola selanjutnya ada di kaki-kaki para legislator. Mau ditendang, dioper kesana-kesini, diarahkan ke gawang, atau ditendang sekuat-kuatnya ke luar lapangan, terserah mereka. Memang domain mereka kok.
Tapi, bukan itu sih yang mau disampaikan. Heuheuheu…
Begitu muncul nama anak presiden mau diusulkan jadi cawapres, pikiran langsung terlempar ke era Orde Baru.
Bagaimana ditentangnya praktik politik Pak Harto kala itu yang memasang kolega, hingga anaknya di jajaran pemerintahan.
Masih membekas ingatan ketika Pak Harto mulai terang-terangan mengangkat putrinya, Mba Tutut, menjadi menteri sosial.
Tentu, saat Pak Harto, Al Fatihah untuk beliau, melantik Mba Tutut, tidak ada yang berani protes. Coba saja kalau berani blak-blakkan memprotes.
Semua tahu, betapa superiornya Pak Harto kala itu.
Namun praktik nepotisme itulah awal runtuhnya kekuasaan Orde Baru selama 32 tahun. Ya, 32 tahun.
Waktu yang tak sedikit menguasai republik ini.
Runtuh. Digilas gerakan reformasi.
Ya, mungkin sekarang sudah beda zaman. Beda kondisi. Beda kebutuhan. Begitu dalil mereka. Tak masalah sanak famili menjadi pejabat atau kepala daerah. Toh dipilih rakyat juga.
Iya, benar.
Bukan itu.
Dinasti politik, begitu orang sekarang mengganti istilah nepotisme, disematkan ke pihak Pak Jokowi.
Ya, ngga apa-apa. Ada hak politik di tiap warga.
Cuma, kok ya kita kurang adil bersikap jika dibandingkan dengan orde sebelumnya. Toh, Mba Tutut juga punya hak politik. Bahkan dia hanya sebatas menteri, bukan kepala daerah.
Tapi, kok ya betapa dulu diributkan dinasti politik ala Pak Harto.
Seharusnya kita juga mesti adil. Kepada siapapun. Bahkan kita diminta Tuhan untuk adil di pikiran/pendapat kita sendiri. Bahkan lagi, kita mesti adil meski kita dalam kondisi emosi sekalipun.
Dimana dan kemana rasa adil di kala itu?
Apakah baru muncul saat ini saja? Apakah kita baru sadar bahwa tiap anak bangsa di republik ini punya hak politik yang sama? Atau apakah rasa adil itu baru kita munculkan sekarang agar syahwat politik kita bisa terpenuhi?
Ya ndak tau, kok tanya saya…. (*)