Relasi Negara dan Islam di Indonesia: Pengalaman Nahdlatul Ulama (Bagian 3/Selesai)

Pertama, hifz al din. Setiap kegiatan didasarkan untuk kepentingan pemeliharaan ajaran Islam, oleh karena kehidupan itu baru bernilai apabila selalu didasarkan kepada ajaran Islam. Setiap peraturan perundang-undangan tidak boleh bertentangan dengan hakikat ajaran Islam malah justru semua undang-undang haruslah bertujuan memperkuat komitmen semua umat beragama terhadap ajaran agamanya. Oleh karena itu pertimbangan untuk kepentingan syari‘at haruslah ditempatkan di atas segala-galanya. Semua peraturan perundang-undangan hendaklah yang dapat memudahkan orang beribadah oleh karenanya tidak boleh ada yang bertentangan dengan ajaran Islam (Q.S. Ali ‘Imran [3]:83). Mengingat agama yang dianut oleh mayoritas rakyat Indonesia adalah Islam, maka setiap undang-undang hendaklah memberi kemudahan bagi umat Islam untuk mengamalkan ajaran agamanya, dan pada saat yang sama juga memberikan kemudahan bagi umat lainnya dalam mengamalkan ajaran agamanya. Bertolak pada pemikiran tersebut, setiap undang-undang tidak boleh bertentangan dengan semangat spiritual yang hidup di dalam masyarakat Indonesia.

Kedua, hifz al nafs. Setiap pelaksanaan ajaran Islam harus selalu memelihara kelangsungan hidup manusia, oleh karena itu tidak dibenarkan upaya-upaya kehidupan yang justru berakibat hilangnya keberadaan manusia. Seluruh peraturan perundang-undangan harus dapat  menjaga  kelangsungan kehidupan  dan  melindungi  kehormatan  umat  manusia.  Tidak dibenarkan  adanya  undang-undang yang  merendahkan  martabat  manusia  karena  manusia diciptakan Allah dalam bentuk yang sempurna (Q.S. Al Tin [95]: 4); (Q.S. Al Isra’[17]: 33).

Ketiga, hifz al nasl. Seluruh perundang-undangan harus dapat memelihara kelangsungan berketurunan, oleh karena itu tidak dibenarkan adanya upaya pembunuhan atau pemutusan keturunan atas dasar alasan apapun juga. Serta tidak dibenarkan aktifitas perusakan lingkungan hidup karena dapat mengancam eksistensi kelangsungan hidup manusia. Seluruh produk perundang-undangan hendaklah bertujuan memuliakan manusia (Q.S. Al Isra’ [17]: 31).

Keempat, hifz al mal. Seluruh perundang-undangan hendaklah dapat memelihara kepemilikan harta, baik kepemilikan harta yang sempurna (milk taam) maupun kepemilikan tak sempurna (milk naaqish) dan hak-hak kepemilikan kebendaan termasuk hak cipta maupun budaya bangsa. Islam menegaskan adanya kepemilikan perorangan dan kepemilikan syirkah, namun harta yang dimiliki itu memiliki nilai ibadah dan sosial yang ditunaikan melalui zakat, infak dan shadaqah (Q.S. Al Hijr [15]: 20).

Kelima, hifz al aql. Peraturan perundang-undangan hendaklah memuliakan manusia sebagai makhluk Allah yang mulia yang memiliki akal sehat dengan kemampuan berfikir yang baik dan benar, terbebas dari hedonisme dan materialisme, jauh dari pragmatis serta menjunjung tinggi akhlak mulia, sehingga segenap kehidupan manusia menjadi aman dan bahagia  (Qs. 17:70). Hal ini dapat terwujud manakala akal pikirannya positif, tidak terkotori pengaruh narkotika dan obat-obat terlarang dan mampu menyikapi semua hal secara dewasa.

Berdasarkan kepada prinsip-prinsip tersebut, maka NU berpandangan bahwa produk peraturan perundangan hendaklah dapat: (1) melindungi semua golongan; (2) berkeadilan; (3) sesuai dengan agama/keyakinan/kepercayaan masyarakat yang disahkan keberadaannya di Indonesia; (4) sesuai dengan nilai-nilai kepatutan dan budaya masyarakat yang tidak bertentangan dengan agama; (5) selalu memiliki wawasan ke depan.

Halaman Berikutnya

  • Hasyim Asy’ari

    Dosen Program Studi Doktor Ilmu Sosial, Konsentrasi Kajian Ilmu Politik, FISIP UNDIP Semarang; Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Gerakan Pemuda Ansor Jawa Tengah (2010-2014); Kepala Satkorwil Banser Jawa Tengah (2014-2018)

POPULER
Search