Relasi Negara dan Islam di Indonesia: Pengalaman Nahdlatul Ulama (Bagian 3/Selesai)

Kelima, pidato Khutbah Iftitah Rais Am Syuriyah PBNU K.H. Achmad Siddiq pada pembukaan Munas Alim Ulama NU tahun 1987 di Cilacap.84 Pada saat itu K.H. Achmad Siddiq menyatakan sikap persaudaran yang dikembangan di lingkungan warga NU adalah persaudaraan Islam (ukhuwah Islamiyah), persaudaraan kebangsaan (ukhuwah wathaniyah), dan persaudaraan kemanusiaan (ukhuwah basyariyah). Pandangan ini menunjukkan bahwa konsep persaudaraan yang dianut oleh NU sangat luas, tanpa memandang agama dan bangsa, bahkan mencakup persaudaraan kemanusiaan.

Keenam, salah satu keputusan penting dalam Muktamar Nahdlatul Ulama (NU) ke-32 di Makasar 22-27 Maret 2010 lalu adalah hasil pembahasan masalah-masalah keagamaan (bahsul masail diniyyah). Selama ini forum bahsul masail dalam Muktamar NU hanya meliputi dua bidang,  yaitu  pembahasan  masalah kasus-kasus  keagamaan  tertentu  (bahsul  masail  diniyyah waqiiyah) dan pembahasan masalah keagaman tematik-konseptual (bahsul masail diniyyah maudluiyyah). Pada Muktamar NU ke-32 terdapat forum baru yang melakukan tinjauan keagamaan terhadap perundang-undangan di Indonesia (bahsul masail diniyyah qanuniyah).85 Forum ini digunakan untuk membahas dan memutuskan pandangan NU terhadap masalah seputar perundang-undangan di Indonesia.

NU memandang bahwa setiap undang-undang hendaklah selalu hidup dan bermanfaat untuk menjawab perkembangan tuntutan kehidupan masyarakat. Dalam hal ini NU memegang prinsip al muhafazat ‘ala al qadim al shalih wa al akhdz bi al jadid al ashlah, yaitu proses transformasi kehidupan masyarakat memerlukan komitmen yang kuat terhadap nilai-nilai positif dari tradisi yang telah sejak lama berkembang dalam masyarakat, namun pada saat yang sama juga bersikap responsif kepada perkembangan moderen.

Atas dasar itulah, Muktamar NU ke-32 menyusun Qawaidut Taqnin yang dimasudkan sebagai pedoman dan standar NU dalam mempertahankan, mengkritisi, mengawal, dan mengusulkan peraturan perundang-undangan.

NU berpandangan bahwa seluruh praktik penyelenggaraan negara tidak saja mempunyai dimensi kepentingan sesaat, akan tetapi hendaklah memiliki pandangan yang jauh ke depan. Dalam pandangan NU kepentingan ke depan itu harus selalu didasarkan pada pertimbangan kepentingan pelaksanaan nilai-nilai ajaran Islam, karena pelaksanaan ajaran Islam pada dasarnya tidak hanya penting bagi umat Islam saja akan tetapi bermanfaat bagi keluhuran sifat dasar kemanusiaan.

Secara umum pembuatan peraturan perundangan-undangan di Indonesia harus mengacu kepada kaidah “kebijakan pemimpin terhadap rakyatnya harus berdasarkan pada kemaslahatan” (tasharraf al imam ‘ala raiyyah manuuthun bi al mashlahah). Secara lebih khusus lagi, sesuai dengan dasar filosofi ajaran Islam (maqashid al syari’at), maka bagi NU semua peraturan perundang-undangan hendaklah dapat memperkuat lima tujuan diturunkannya syari’at (maqashid al syari’at).86


84 Informasi ini diperoleh dari KH. Em. Nadjib Hassan, pemangku makam Sunan Kudus dan masjid al-Aqsha Menara Kudus yang juga Wakil Rais Syuriyah Pengurus Wilayah (PW) NU Jawa Tengah (2008-2013).

85 Keputusan Bahsul Masail Diniyah Qanuniyah, Muktamar Nahdlatul Ulama (NU) Ke-32, Makasar, 22-27 Maret 2010.

86 Teori maqashid al syari’at diajukan oleh sejumlah ahli hukum Islam, khususnya Imam Abu Ishaq Ibrahim bin Musa al-Syathibi,  seorang ahli  fiqh  madzhab  Maliki  yang  karya-karyanya  menyangkut  maqashid al syari’at, khususnya dalam kitab al-Muwaafaqat fi ‘Ushul al Syariah, (Beirut: Dar al Ma‘rifah, 2004).

Halaman Berikutnya

  • Hasyim Asy’ari

    Dosen Program Studi Doktor Ilmu Sosial, Konsentrasi Kajian Ilmu Politik, FISIP UNDIP Semarang; Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Gerakan Pemuda Ansor Jawa Tengah (2010-2014); Kepala Satkorwil Banser Jawa Tengah (2014-2018)

POPULER
Search