Relasi Negara dan Islam di Indonesia: Pengalaman Nahdlatul Ulama (Bagian 3/Selesai)

Sikap radikal NU terhadap pemerintah Orde Baru ditunjukkan dalam Sidang MPR 1978.80 NU tidak setuju dengan gagasan pemerintah yang memasukkan “aliran kepercayaan” sejajar dengan posisi agama. NU mengusulkan agar semua konsep mengenai “aliran kepercayaan” dalam GBHN dihapuskan, karena NU khawatir dengan posisi yang sejajar demikian ini “aliran kepercayaan” akan berpotensi menggantikan agama.81 Selain itu, NU menilai bahwa upaya memunculkan “aliran kepercayaan” ke dalam wacana formal sama dengan pengakuan adanya pembelahan antara “santri”dan “abangan”, padahal antara kedua varian budaya itu, secara formal mereka adalah pemeluk agama Islam.82

Sikap keras NU ini juga ditunjukkan dengan melakukan penolakan terhadap pengesahan P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila). NU menilai bahwa P4 pada masa mendatang memiliki potensi untuk menggantikan agama, dan akan menjadi dasar pedoman segala kegiatan. Dengan demikian, identitas Islam akan hilang, lebur dalam satu ajaran yaitu Pancasila. NU menilai bahwa pelembagaan P4 ini akan dijadikan dasar pijakan pengakuan terhadap keberadaan “aliran kepercayaan”.

Berbagai pendekatan politik oleh pemerintah terhadap NU di tubuh PPP, demikian pula sebaliknya, mengalami jalan buntu. Akhirnya keputusan untuk menerima atau menolak pelembagaan P4 dilakukan dengan jalan voting. Dihadapkan pada posisi sulit demikian ini, NU di tubuh PPP mengalami ketidakpuasan, dan akhirnya melakukan walk out sebagai tanda protes pada saat dilaksanakan voting pada tanggal 18 Maret 1978.

Sikap protes NU, kembali ditunjukkan pada sidang pengambilan keputusan tentang pengesahan “aliran kepercayaan”. Sehari kemudian, pada tanggal 19 Maret 1978 NU kembali melakukan walk out sebagai tanda protes atas ketidaksetujuannya terhadap keberadaan “aliran kepercayaan”.83 Dengan demikian, upaya kalangan Islam (dalam hal ini NU) dalam penolakan terhadap keberadaan aliran kepercayaan menemui kekalahan.


80 Tentang sikap keras NU dalam Sidang MPR 1978, lihat: Andree Feillard, ibid., hlm. 199-203. Sikap keras ini sebenarnya bukan khas NU, tetapi hampir menjadi sikap semua orang Islam, namun secara politik formal hal ini ditunjukkan oleh NU secara dramatis dalam persidangan MPR.

81 Munculnya “aliran kepercayaan” sebagai kekuatan politik dalam Orde Baru tidak lepas dari sponsor pemerintah, terutama dimotori oleh Mayor Jenderal (Mayjen) Soedjono Hoemardani, asisten pribadi Presiden Soeharto, yang dikenal sebagai penganut kejawen. Satu bulan setelah “menggolkarkan” GUPPI, Soedjono Hoemardani mensponsori pertemuan 43 kelompok aliran kepercayaan di Yogyakarta yang ingin mendapatkan  pengakuan  resmi  dari pemerintah. Lihat: Michael S. Malley, “Soedjono Hoemardani dan Orde Baru: Aspri Presiden Bidang Ekonomi 1966-1974”, Prisma, hlm. 118-119.

82 Pembahasan tentang kebijakan pemerintah dalam penataan “aliran kepercayaan”, lihat: Paul Stange, 1998, Politik Perhatian: Rasa Dalam Kebudayaan Jawa, (Yogyakarta: LKiS), terutama bab “Politik Penataan Kepercayaan”, hlm.93-130.

83 Laode Ida, 1996, Anatomi Konflik NU, Elit Islam dan Negara, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan), 1996, hlm. 44.

Halaman Berikutnya

  • Hasyim Asy’ari

    Dosen Program Studi Doktor Ilmu Sosial, Konsentrasi Kajian Ilmu Politik, FISIP UNDIP Semarang; Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Gerakan Pemuda Ansor Jawa Tengah (2010-2014); Kepala Satkorwil Banser Jawa Tengah (2014-2018)

POPULER
Search