Relasi Negara dan Islam di Indonesia: Pengalaman Nahdlatul Ulama (Bagian 3/Selesai)

Pertama, pada Muktamar XI NU di Banjarmasin tahun 1936 di antaranya memutuskan bahwa wilayah Hindia Belanda sebagai dar al-islam. Keputusan ini didasarkan pada dua pertimbangan. Pertama, sebelum kedatangan penjajah Belanda, mayoritas penduduk di wilayah Nusantara beragama Islam, dengan demikian ia berstatus sebagai dar al-islam. Walaupun kemudian status Hindia Belanda berada di bawah pemerintahan kolonial Belanda yang beragama Kristen, kondisi ini tidak merubah status Nusantara sebagai dar al-islam. Kedua, kendati di bawah pemerintah kolonial Belanda yang beragama Kristen, namun praktek keagamaan berdasar Islam di Nusantara tetap boleh berlangsung, maka status Nusantara tetap sebagai dar al-islam.

Kedua, setelah Indonesia memproklamasikan diri sebagai negara merdeka dan berdaulat, NU mengeluarkan statemen politik yang dikenal dengan “Resolusi Jihad”.74 Resolusi Jihad ini menegaskan sikap NU untuk membela kemerdekaan dari upaya kolonial yang akan merebut kembali kemerdekaan Indonesia. Resolusi Jihad NU ini pertama kali dikumandangkan pada tanggal 22 Oktober 1945, dan dikukuhkan dalam Muktamar XVI NU di Purwokerto tanggal 26- 29 Maret 1946. Resolusi Jihad NU ini berisi seruan bahwa jihad fi sabilillah mempertahankan kemerdekaan dari tangan penjajah adalah fardlu ‘ain hukumnya, terutama bagi kaum muslimin yang berada di radius 80 km yang berada di wilayah pertempuran. Radius 80 km ini merupakan qiyas dari hukum rukhshah shalat. Bagi kaum muslimin yang meninggal dalam jihad ini dihukumi sebagai mati syahid. Resolusi Jihad ini tentu saja pada gilirannya memperkuat moral-psikologis para pejuang dalam melakukan pertempuran melawan tentara Belanda yang coba masuk kembali ke Indonesia.

Ketiga, keputusan politik NU untuk memberikan gelar kepada Presiden Soekarno sebagai waliy al-amry al-daruri bi al-syaukah (pemegang kekuasaan temporer yang secara de facto memegang kekuasaan) diprakarsai oleh Menteri Agama (1953-1954) K.H. Masjkur, yang menggelar pertemuan ulama nasional dan banyak dihadiri ulama yang berafiliasi dengan NU dan Perti. Pemberian gelar ini berkaitan dengan didirikannya Pengadilan Agama di Sumatera Barat, dan keputusan Menteri Agama mengenai pengangkatan (tauliah) wali hakim bagi perkawinan wanita yang tidak mempunyai wali (nasab) sendiri. Status penguasa negara Indonesia sebagai penguasa Islam sangat menentukan keabsahan legitimasi Islam bagi wali hakim di pengadilan agama nantinya. Di sisi lain, pemberian gelar kepada Presiden Soekarno ini mempunyai implikasi politik, yaitu dengan gelar waliy al-amry ini pada saat yang bersamaan mendelegitimasi kekuasaan Kartosuwirjo (pemimpin pemberontakan DI/TII) yang mendeklarasikan dirinya sebagai “imam” dar al-islam Indonesia.

Berdasarkan keterangan tersebut, terlihat bahwa NU dapat bersikap fleksibel dan tegas sekaligus dalam mengambil keputusan. Sikap NU ini sangat dipengaruhi oleh karakter fiqh yang dianut NU dalam mengambil keputusan.


74 Diskusi tentang fatwa “Resolusi Jihad NU”, lihat: Hairus Salim, “50 Tahun Resolusi Jihad NU”, Kompas, 10 Nopember 1995; Hermawan Sulistyo, “Historiografi tentang Resolusi Jihad NU”, Kompas, 24 Nopember 1995; Mohammad Fajrul Falaakh, “NU dalam Dua Resolusi Jihat”, Kompas, 8 Desember 1995. Ketegangan relasi negara dan Islam di Indonesia pada masa revolusi yang melibatkan militer, NII dan NU di tengah-tengah-nya, dilukiskan secara novelis oleh Ahmad Tohari, 1995, Lingkar Tanah Lingkar Air, (Purwokerto: Harta Prima), baca: Hasyim Asy’ari, 2008, “Budaya Politik di Pentas Novel: Kajian Tentang PKI dan DI/TII dalam Novel Ahmad Tohari”, diterbitkan dalam Sabda Jurnal Kajian Kebudayaan, Fakultas Sastra Universitas Diponegoro, Vol. 3, Nomor 1, April 2008, hlm. 1-9.

Halaman Berikutnya

  • Hasyim Asy’ari

    Dosen Program Studi Doktor Ilmu Sosial, Konsentrasi Kajian Ilmu Politik, FISIP UNDIP Semarang; Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Gerakan Pemuda Ansor Jawa Tengah (2010-2014); Kepala Satkorwil Banser Jawa Tengah (2014-2018)

POPULER
Search