Relasi Negara dan Islam di Indonesia: Pengalaman Nahdlatul Ulama (Bagian 3/Selesai)

Paham aswaja yang dianut NU ini pada gilirannya akan membentuk tata nilai tersendiri, yang akan dijadikan prinsip-prinsip dalam tata pikir dan metode penyelesaian masalah. Tata nilai yang dikembangkan NU berdasarkan kepada ajaran para imam madzhab yang dianutnya adalah prinsip moderat (tawassuth), adil (ta’adul), seimbang (tawazun), dan toleran (tasamuh).71

Prinsip tawassuth yaitu mengambil jalan tengah antara dalil naqli dan dalil aqli, antara nash dan ra‟yu, dan menjauhi sikap tatharruf (ekstrim), tasaum (pesimisme) dan tidak apriori. Ini tidak berarti kompromistis atau akomodatif yang mengarah kepada sikap permissif, namun tawassuth lebih merupakan sikap wajar dalam memandang segala sesuatu, dan tidak mengada-ada. I’tidal berarti tegak lurus atau menegakkan keadilan. Sikap adil ini dimaksudkan dalam melaksanakan ajaran Islam harus sesuai dengan ketentuan yang semestinya, dan secara lurus dan benar, terlepas dari penyimpangan dan pengaruh yang merusak. Prinsip tawazun ini berarti mengambil sikap menjaga keseimbangan atau moderat, tidak ekstrim, tidak menutup diri, dan mau mendengar dari berbagai pihak. Sebagai konsekuensi dari tawassuth, i’tidal dan tawazun adalah sikap tasamuh (toleran). Sikap moderat, terbuka, memegang kebenaran dan keadilan, pada gilirannya akan mengarahkan sikap toleran, penuh pengertian dengan berbagai pihak lain, dan menghindari fanatik secara buta.

Paham aswaja dan tata nilai yang terkandung di dalamnya, menunjukkan bahwa paham ini mengutamakan perilaku yang moderat, tidak ekstrim dan penuh toleransi. Tata nilai yang dianut NU ini pada gilirannya sangat mempengaruhi perilaku organisasi NU yang dalam perjalanan sejarahnya dikenal begitu moderat, toleran dan mengambil sikap jalan tengah ketika dihadapkan kepada berbagai pilihan politik. Berbagai keputusan organisasi dalam perjalanan historis NU selalu didasarkan kepada hukum yang merujuk kepada paham aswaja ini. Hal inilah yang menunjukkan bahwa NU pada dasarnya adalah organisasi sosial keagamaan (jam’iyah diniyyah).72

Dalam perkembangannya, NU dalam mengambil keputusan lebih didasarkan kepada hukum fiqh. Ada beberapa kasus yang menunjukkan bahwa keputusan politik NU didasarkan kepada fiqh, yaitu sikap NU yang menyatakan bahwa Hindia Belanda adalah dar al-islam, resolusi jihad NU dalam mempertahankan kemerdekaan dari pendudukan kembali penjajah Belanda, dan pemberian gelar waliy al-amry al-daruri bi al-syaukah terhadap Presiden Soekarno.73 Selain itu Muktamar NU ke-27 di Situbondo tahun 1984, Munas Alim Ulama di Cilacap 1987, dan Muktamar NU ke-32 di Makasar tahun 2010. Cara pandang dan sikap NU itu merupakan potret titik-temu antara Islam dan negara di Indonesia.


71 Achmad Siddiq, op.cit., hlm. 38-40.

72 Musthofa Sonhadji, op.cit., hlm. 105. Lihat juga: M. Fajrul Falaakh, 1994, “Jam‘iyah Nahdlatul Ulama: Kini, Lampau dan Datang”, dalam Ellyasa KH. Darwis (ed.), 1994, Gus Dur, NU dan Masyarakat Sipil, (Yogyakarta: LKiS), hlm. 171.

73 Informasi tentang hal ini, lihat: M. Ali Haidar, 1994, Nahdlatul Ulama dan Islam di Indonesia: Pendekatan Fikih Dalam Politik, (Jakarta: Gramedia), hlm. 4-5.

Halaman Berikutnya

  • Hasyim Asy’ari

    Dosen Program Studi Doktor Ilmu Sosial, Konsentrasi Kajian Ilmu Politik, FISIP UNDIP Semarang; Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Gerakan Pemuda Ansor Jawa Tengah (2010-2014); Kepala Satkorwil Banser Jawa Tengah (2014-2018)

POPULER
Search