Relasi Negara dan Islam di Indonesia: Pengalaman Nahdlatul Ulama (Bagian 2)

Dalam musyawarah ulama itu muncul persoalan, atas nama siapa pengiriman delegasi ke Makkah tersebut. Jawaban spontan dari para ulama adalah kesepakatan untuk membentuk suatu jam‟iyah (organisasi) sebagai  wadah bagi  persatuan dan perjuangan para ulama. Berkenaan dengan nama jam‟iyah itu muncul dua usul.51 Pertama, KH. Abdul Hamid Faqih dari Sedayu Gresik mengusulkan agar jam‘iyah tersebut diberi nama Nuhud al-Ulama yang berarti kebangkitan ulama, dengan harapan para ulama bersiap-siap akan bangkit melalui jam‟iyah tersebut. Kedua, KH. Mas Alwi Abdul Aziz dari Surabaya mengusulkan agar jam‟iyah itu diberinama Nahdhah al-Ulama, yang artinya kebangkitan ulama secara bersama-sama yang terorganisir, iqtibas kepada Nahdhah al-Wathan, yang menunjukkan adanya kebangkitan ulama yang sudah dirintis sejak lama. Akhirnya secara aklamasi usul KH. Mas Alwi Abdul Aziz diterima oleh forum musyawarah karena dianggap lebih cocok. Pada hari itu juga, yaitu tanggal 16 Rajab 1344 Hijriyah atau 31 Januari 1926 Miladiyah, jam‟iyah Nahdlatul Ulama dinyatakan resmi berdiri.

KH. R. Asnawi yang dalam musyawarah diputuskan menjadi utusan menghadap Raja Ibnu Saud gagal berangkat, karena ketinggalan kapal. Agar misi ulama tidak gagal, maka keputusan musyawarah ulama di Surabaya dikirim melalui telegram langsung kepada Raja Ibnu Saud. Setelah mengirim telegram dua kali yang menghabiskan biaya masing-masing senilai f. 113.83 dan f. 261.20, dan ditunggu selama dua tahun, jawaban belum juga datang. Karena hal itu, maka KH. Abdul Wahab bersama Syekh Ahmad Gonaim al-Misri berangkat menghadap Raja Ibnu Saud di Makkah, dan menyampaikan apa yang menjadi keinginan para ulama Indonesia. Utusan dan surat NU itu mendapat sambutan yang menggembirakan dari Raja Ibnu Saud, dan ia meluluskan permintaan NU sebagaimana dinyatakan dalam surat jawabannya kepada Pengurus Besar NU No. 2082 tertanggal 13 Juni 1928.52

Lahirnya NU juga disertai dengan beberapa hambatan, baik internal maupun eksternal. Secara internal ada beberapa kyai yang tidak setuju dengan didirikannya jam‘iyah NU, bahkan dianggap bid‟ah, karena zaman Rasulullah tidak ada usaha yang demikian. Kyai Hasyim (salah seorang guru KH. Hasyim Asy‘ari) pengasuh Pondok Pesantren Plangitan Babad yang berasal dari Padangan Cepu bahkan mengharamkan berdirinya NU.53

Secara eksternal, reaksi berdirinya NU datang dari dua arah, yaitu dari kalangan penjajah dan dari kaum pembaharu. Berdirinya NU hampir bersamaan waktunya dengan sedang berseminya semangat nasionalisme yang menentang penjajah. Oleh karena itu, berhimpunnya para ulama dalam NU juga tidak luput dari kecurigaan pemerintah kolonial Belanda. Dari arah lain, reaksi datang dari kaum pembaharu yang anti madzhab, bahkan mereka secara arogan menuduh NU berdiri atas dukungan Belanda dan disponsori oleh Christiaan van der Plas, seorang ahli Islam dan pegawai tinggi pemerintah kolonial Belanda.54


51 Tentang asal mula nama NU, lihat: Choirul Anam, op.cit., hlm. 2-3. Juga Mudjib Ridwan, “Si Pencipta Nama NU”, Aula, No. 2 Th. III, 1981, hlm. 28.

52 Lihat: Swara Nahdlatoel Oelama, No. 12 Th. I, Dzulhijjah 1346 H; juga Deliar Noer, op.cit., hlm. 244-246.

53 Musthofa Sonhadji, op.cit., hlm. 23.

54 Berdasarkan penelitiannya, Alfian tidak menemukan bukti yang dapat membenarkan tuduhan itu. Van der Plas memang sering membuat laporan tentang perkembangan NU, namun ia juga membuat laporan tentang perkembangan organisasi Islam lainnya, seperti pada tahun  1927 Plas membuat laporan perkembangan Muhammdiyah di Minangkabau. Lihat: Alfian, op.cit., hlm. 1-2.

Halaman Berikutnya

  • Hasyim Asy’ari

    Dosen Program Studi Doktor Ilmu Sosial, Konsentrasi Kajian Ilmu Politik, FISIP UNDIP Semarang; Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Gerakan Pemuda Ansor Jawa Tengah (2010-2014); Kepala Satkorwil Banser Jawa Tengah (2014-2018)

POPULER
Search