Relasi Negara dan Islam di Indonesia: Pengalaman Nahdlatul Ulama (Bagian 2)

Kekhawatiran ulama penganut madzhab terhadap kekuasaan Ibnu Saud di Hijaz akan menyebarkan paham Wahabiyah menjadi kenyataan, menyusul tersiarnya kabar bahwa telah terjadi pembunuhan ulama-ulama yang tidak sepaham, dan penghancuran tempat-tempat yang dianggap suci. Demikian pula terjadi perombakan dalam praktek-praktek keagamaan yang selama ini dianggap mapan, seperti larangan bermadzhab, larangan berziarah ke tempat-tempat yang dianggap keramat, dan berbagai larangan itu diikuti dengan ancaman hukuman mati bagi yang melanggarnya.44

Kondisi ini  mendorong ulama madzhab dan penganut ahlussunnah wal  jamaa‟ah di Indonesia untuk ikut berpartisipasi dalam mempertahankan praktek-praktek keagamaan ala ahlussunnah wal jama‟ah di tanah Hijaz. Pada saat diselenggarakan Konggres Islam IV di Yogyakarta pada 21-27 Agustus 1925, bersamaan dengan Konggres Syarikat Islam, kaum ulama madzhab yang dipelopori KH. Abdul Wahab mengusulkan agar dalam Muktamar tentang khilafah yang akan diadakan oleh Ibu Saud pada Juni 1926 di Makkah nanti, delegasi Indonesia mendesak Raja Ibnu Saud untuk melindungi dan mempertahankan kebebasan bermadzhab. Abdul Wahab tidak setuju kalau delegasi Indonesia hanya sekedar menyatakan perasaan solidaritas atas jatuhnya khilafah Islam saja, namun juga harus dipersoalkan tentang jatuhnya Hijaz ke tangan kekuasaan Ibnu Saud. Kaum pembaharu dengan dipelopori Syarikat Islam, Muhammadiyah dan Al-Irsyad yang sejak semula arogan dan mendominasi Konggres Islam, menurut Alfian, menolak usul Abdul Wahab dan menilai usul itu tidak pada tempatnya.45

Setelah undangan resmi Raja Ibnu Saud untuk menghadiri Muktamar Dunia Islam sampai di Indonesia, maka pada tanggal 6 Pebruari 1926 diadakan Konggres Islam V di Bandung untuk merumuskan bahan dan utusan yang akan dikirim ke muktamar tersebut.46 Secara kebetulan KH. Abdul Wahab (wakil ulama madzhab yang selalu mengikuti perkembangan Konggres Islam) mendadak pulang ke Jombang dan tidak dapat meneruskan ikut konggres, karena ayahnya (KH Chasbullah) wafat. Hal ini diambil kesempatan oleh kaum pembaharu untuk semakin mendominasi Konggres, dan usul ulama madzhab dalam Konggres Islam V di Bandung ini semakin tidak mendapat perhatian, serta ulama madzhab tidak diikutsertakan dalam delegasi Muktamar di Makkah.47 Delegasi muktamar terdiri dari HOS. Tjokroaminoto (Syarikat Islam), KH. Mas Mansur dan H. Soedjak (keduanya dari Muhammadiyah), dan ditambah H. Abdullah Ahmad dan H.A. Karim Amrullah, keduanya mewakili kaum pembaharu di Sumatera Barat. Delegasi berangkat ke Makkah pada tanggal 2 Maret 1926 dengan menggunakan kapal Rondo melalui pelabuhan Surabaya.48


44 Berita-berita tersebut pernah dimuat dalam Swara Nahdlotoel Oelama‟, No. 2 Th. I, Shofar 1346 H; bandingkan Umar Burhan, “Hari-Hari Sekitar Lahirnya NU”, Aula, No. 2 Th. III, Januari 1981, hlm. 16-17.

45 Alfian, op.cit., hlm. 5.

46 Deliar Noer, op.cit., hlm 243, mencatat bahwa Konggres Islam V ini telah didahului oleh suatu pertemuan “persekongkolan” kaum pembaharu untuk mendeskriditkan ulama madzhab yang diadakan di Cianjur Jawa Barat pada tanggal 8-10 Januari 1926.

47 Deliar Noer, ibid., hlm. 248.

48 Setelah delegasi kembali ke Indonesia, pada bulan September 1926 diadakan Konggres Islam VI di Surabaya guna membicarakan hasil Muktamar Dunia Islam di Makkah, dan di antara keputusannya adalah membubarkan Comite Central Chilafat dan mendirikan Muktamar Alam Islami Far‟u al-Hindi al-Syarqiyah (MAIHS), yaitu cabang dari Muktamar Alam Islami yang berpusat di Makkah. Baca: Amelz, 1950, H.O.S. Tjokroaminoto, Hidup dan Perjuangannya, (Jakarta: Bulan Bintang), hlm. 172-173.

Halaman Berikutnya

  • Hasyim Asy’ari

    Dosen Program Studi Doktor Ilmu Sosial, Konsentrasi Kajian Ilmu Politik, FISIP UNDIP Semarang; Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Gerakan Pemuda Ansor Jawa Tengah (2010-2014); Kepala Satkorwil Banser Jawa Tengah (2014-2018)

POPULER
Search