Relasi Negara dan Islam di Indonesia: Pengalaman Nahdlatul Ulama (Bagian 2)

Sementara itu dunia Islam dikejutkan oleh berita jatuhnya Khilafah Usmaniyah ke tangan sekularis Musthafa Kamal, dan dihapusnya sistem khilafah berubah menjadi berbentuk Republik Turki.38 Pada saat yang hampir bersamaan, Hijaz (di dalamnya termasuk Makkah dan Madinah) jatuh ke tangan kekuasaan kalangan Wahabiyah, sehingga menimbulkan kekhawatiran tersendiri bagi ulama penganut madzhab di  Indonesia bahwa kelak  penguasa akan melarang praktek kehidupan beragama ala Ahlussunnah wal Jama‟ah yang menganut madzhab.

Krisis kekhilafahan ini dimanfaatkan oleh Raja Hijaz Syarief Husein bin Ali untuk mendeklarasikan dirinya sebagai khalifah Islam yang baru.39 Tindakan terburu-buru dan cukup gegabah Raja Husein ini dinilai akan mengancam wibawa kerajaan Najed, dan ini mendorong Raja Abdul Aziz bin Saud menggerakkan tentaranya untuk menyerang Hijaz. Pada tanggal 13 Oktober 1924, Makkah sebagai pusat kekuasaan Husein jatuh ke Tangan Raja Ibnu Saud, dan pada 5 Desember 1924 Madinah berhasil dikuasai, selanjutnya Syarief Husein atas bantuan Inggris melarikan diri ke Ciprus. Setelah berhasil menguasai seluruh Hijaz, Abdul Aziz Bin Saud pada 8 Januari 1926 memproklamasikan diri sebagai Raja Arab baru yang berkedudukan di Makkah.40

Para ulama Mesir yang dipelopori oleh ulama Al-Azhar berusaha mengadakan Muktamar Dunia Islam untuk membicarakan soal khilafah ini. Maka diundanglah para pemimpin Islam dari berbagai negara-negara Islam, termasuk Indonesia, untuk menghadiri muktamar yang direncanakan akan diselenggarakan pada bulan Maret 1925.41

Begitu undangan dari Mesir diterima di Indonesia, pada tanggal 24-26 Desember 1924 diadakan Konggres Al-Islam di Surabaya, yang hasilnya di antaranya adalah dibentuknya Central Comite Chilafat beranggotakan berbagai organisasi Islam dan diketuai oleh Wondo Soedirdjo (Wondoamiseno) dari SI. Konggres mengusulkan agar khilafah tetap dipertahankan dan dipegang secara kolektif oleh sebuah “Majlis Ulama” yang diwakili oleh ulama-ulama terkemuka dunia, dan hendaknya berkedudukan di Makkah. Konggres juga memutuskan akan mengirim delegasi yang terdiri dari Suryo Pranoto (SI), KH. Fachruddin (Muhammadiyah), dan KH. Abdul Wahab Chasbullah (mewakili ulama Surabaya).42

Namun karena kurang mendapat dukungan dari dunia Islam secara luas, dan situasi dalam negeri masing-masing negara Islam kurang menguntungkan, maka muktamar yang direncanakan di Kairo itu gagal.43 Akibatnya utusan Indonesia pun tidak jadi berangkat.


38 Harun Nasution, 1975, Pembaharuan Dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang), hlm. 153-154.

39 Carl Brockelmann, 1968, Tarikh al-Syu‟ub al-Islamiyah, alih bahasa Arab oleh Habib Amin Faris dan Murik al- Ba‘albaki, (Beirut: Dar al-Ilmi li al-Mabayin), hlm. 744-748.

40 Ibid., hlm. 749-751; bandingkan Philip K. Hitti, 1953, Arab History, alih bahasa H. Hutagalung dan ODP. Sihombing, (Bandung: Van Hoeve), hlm. 255-256.

41 Ibid.

42 Deliar Noer, op.cit., hlm. 248.

43 Brockelmann, op.cit., hlm. 753.

Halaman Berikutnya

  • Hasyim Asy’ari

    Dosen Program Studi Doktor Ilmu Sosial, Konsentrasi Kajian Ilmu Politik, FISIP UNDIP Semarang; Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Gerakan Pemuda Ansor Jawa Tengah (2010-2014); Kepala Satkorwil Banser Jawa Tengah (2014-2018)

POPULER
Search