Relasi Negara dan Islam di Indonesia: Pengalaman Nahdlatul Ulama (Bagian 2)

Sementara penjajahan Belanda dan Kristening Politiek masih berjalan, di dalam umat Islam Indonesia dihadapkan kepada pertentangan yang semakin tajam, yang disebabkan masalah madzhab33 dan khilafiyah furu‟iyyah.34 Kebangkitan dunia Islam di penghujung abad XIX dan awal abad XX, ternyata diiikuti dengan berbagai perdebatan tajam seputar masalah madzhab dan khilafiyah furu‟iyyah. Perdebatan ini semakin memperluas dan memperdalam jurang perbedaan antara golongan-golongan dalam Islam, khususnya antara yang memegangi madzhab dan yang anti madzhab. Kedua golongan ini saling memperkokoh argumentasi dan barisannya. Kelompok anti madzhab semakin meningkatkan serangan-serangannya, sementara kelompok bermadzhab yang dipelopori para kyai dan ulama pesantren terus berusaha menggalang kekuatan untuk menghadapi serangan-serangan dari kalangan anti madzhab.

Walaupun diadakan usaha mempersatukan umat Islam oleh Bratanata (seorang tokoh Syarikat Islam (SI) dari Cirebon) dengan membentuk Badan Koordinasi Konggres Islam sebagai wadah koordinasi dan pemersatu yang menampung semua organisasi dan badan-badan Islam, namun belum membawa hasil.35 Bahkan dalam Konggres Islam pertama di Cirebon tanggal 31 Oktober-2 Nopember 1922  yang dipimpin oleh H.O.S. Tjokroaminoto dan Agus Salim, perdebatan antar kelompok semakin sengit. Muhammadiyah dan Al-Irsyad yang diwakili Ahmad Syurkati menuduh madzhab sebagai sumber penyebab kebekuan dan kemunduran umat Islam. Sementara kalangan ulama madzhab yang diwakili oleh K.H. Abdul Wahab dan K.H.R. Asnawi sebaliknya menuduh orang-orang yang menentang madzhab justru akan membuat madzhab sendiri dengan menafsirkan Al-Qur‘an dan Hadits sesuka hatinya.36

Konggres Islam yang diadakan selanjutnya juga kurang membawa hasil, sehingga perseteruan yang diwarnai oleh perdebatan khilafiyah semakin meningkat. Alfian mencatat bahwa ada gejala yang kuat, kaum anti madzhab (yang sering disebut sebagai kaum pembaharu) semakin menunjukkan kecongkakan dan sikap arogansinya terhadap kaum penganut madzhab, yang pada gilirannya membawa perpecahan di antara keduanya semakin sulit dipersatukan kembali.37


33 Madzhab adalah kata dalam bahasa Arab yang berarti jalan atau cara. Bermadzhab di sini diartikan sebagai pengamalan agama dengan mengikuti pendapat dan pemikiran dari salah seorang ulama yang memiliki otoritas yang sangat tinggi dalam bidang agama dan memiliki kemampuan berijtihad. Dalam praktek agama Islam terdapat banyak madzhab. Sementara dalam fiqh madzhab terbesar adalah madzhab Hanafi yang dipelopori oleh Imam Abu Hanifah Nu‘man bin Tsabit, madzhab Maliki oleh Imam Malik bin Anas, madzhab Syafi‘i oleh Imam Muhammad bin Idris al-Syafi‘i, dan madzhab Hanbali oleh Imam Ahmad bin Hanbal.

34 Masalah khilafiyah yaitu masalah-masalah agama yang diperselisihkan oleh aliran-aliran agama khususnya antara ulama bermadzhab dengan ulama tidak bermadzhab, dan sebenarnya masalah-masalah yang diperselisihkan bukan masalah pokok/dasar, namun hanya masalah-masalah kecil/cabang (furu‟iyyah).

35 H.J. Benda, op.cit., hlm. 77-78.

36 Tentang perdebatan-perdebatan tersebut, dapat dilihat dalam: Deliar Noer, 1980, Gerakan Modern Islam di Indonesia, (Jakarta: LP3ES), hlm. 247-248. Baca juga: Rosihan Anwar, 1971, Pergerakan Islam dan Kebangsaan Indonesia, (Jakarta: PT. Kartika Tama), hlm. 29-58.

37 Alfian, 1969, Sekitar Lahirnya “Nahdlatul Ulama” (NU), (Jakarta: Lembaga Ekonomi dan Masyarakat Nasional LIPI), hlm. 4.

Halaman Berikutnya

  • Hasyim Asy’ari

    Dosen Program Studi Doktor Ilmu Sosial, Konsentrasi Kajian Ilmu Politik, FISIP UNDIP Semarang; Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Gerakan Pemuda Ansor Jawa Tengah (2010-2014); Kepala Satkorwil Banser Jawa Tengah (2014-2018)

POPULER
Search