Relasi Negara dan Islam di Indonesia: Pengalaman Nahdlatul Ulama (Bagian 2)

Dalam rangka status quo ini, Belanda juga melancarkan politik asosianisme atau asimilasionisme, yang dikenal juga sebagai Etische Politiek, yaitu suatu politik yang berupaya membalas budi rakyat jajahan, di antaranya melalui pendidikan. Pendidikan dengan sistem Barat yang ditawarkan penjajah ini, di antaranya adalah untuk memperkuat loyalitas terhadap pemerintah Belanda, memoderasikan sikap keagamaan Islam, dan menyiapkan tenaga-tenaga birokrasi pemerintahan Belanda dari kaum pribumi.28

Kaum ulama tradisional lebih berhati-hati dan “non kooperatif” dalam menanggapi politik etis ini, bahkan ada kecenderungan untuk melakukan perlawanan secara kultural.29 Dalam berbagai dakwahnya, para ulama melarang untuk meniru-niru (tasyabbuh) kebiasaan orang kafir, yang dalam hal ini ditujukan kepada kaum penjajah Belanda.30

Bentuk-bentuk perlawanan kultural kaum ulama ini ditunjukkan dengan mengintensifkan lembaga-lembaga pendidikan mereka, yaitu pesantren dan madrasah. Pendidikan di pesantren ini digunakan kaum ulama untuk membentengi pengaruh yang disebarkan kaum penjajah, dan sekaligus untuk menyiapkan kader-kader ulama.31 Para kyai pesantren mengajarkan berbagai materi pengajiannya dengan muatan-muatan yang membangkitkan semangat nasionalisme.32


28 Aqib Suminto, op.cit., hlm. 40. Tentang politik etis, baca juga: Robert van Niel, 1984, Munculnya Elit Modern Indonesia, alih bahasa Zahara Deliar Noer, (Jakarta: Pustaka Jaya), hlm. 50-70.

29 Politik kristenisasi yang dijalankan oleh kolonial Eropa, nampaknya menjadi salah satu faktor pendorong berdirinya berbagai organisasi Islam di Indonesia. Selain NU, respon terhadap politik kristenisasi ini juga menjadi salah satu faktor berdirinya Muhammadiyah.  Lihat:  Alwi  Shihab, 1998,  Membendung Arus: Respon Gerakan Muhammadiyah Terhadap Penetrasi Misi Kristen di Indonesia, (Bandung: Mizan), hlm. 141-147. Perlawanan non- kultural kalangan pesantren terhadap kolonial Belanda pada periode sebelumnya ditunjukkan dalam berbagai pemberontakan, di antaranya pemberontakan petani di Banten. Lihat: Sartono Kartodirdjo, 1984, Pemberontakan Petani di Banten 1888, (Jakarta: Pustaka Jaya), hlm. 222-225.

30 Baca: Masbuchin, 1967, Nahdlatul Ulama di Tengah Rakyat dan Bangsa Indonesia, (Kebumen: Daya Bakti), hlm. 16. Juga, Musthofa Sonhadji, 1987, Nahdlah al-Ulama: Organisasi Sosial Keagamaan Tahun 1926-1952 (Suatu Tinjauan Kultural Historis), Tesis M.A., (Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga), hlm. 95-97.

31 Ada semacam transformasi fungsi kultural pesantren, yang semula menjalankan “fungsi instrumen islamisasi”, pada masa kolonial berubah menjadi “fungsi benteng pertahanan menghadapi penetrasi kebudayaan luar”. Lihat: Abdurrahman Wahid, 1979, Bunga Rampai Pesantren, (Jakarta: Dharma Bhakti), hlm. 116.

32 Perguruan Nahdlatul Wathan yang dipelopori oleh K.H. Abdul Wahab Chasbullah, K.H. Mas Mansur dan K.H. Ridlwan Abdullah, dalam mengawali setiap kegiatan belajar selalu dikumandangkan syair berbahasa Arab yang bertujuan untuk membangkitkan semangat nasionalisme. Choirul Anam menyebutkan bahwa salah satu motivasi berdirinya NU, sebagaimana dikemukakan oleh K.H. Abdul Wahab Chasbullah kepada K.H. Abdul Halim pada suatu ketika menjelang berdirinya NU, adalah untuk memperjuangkan tercapainya kemerdekaan Indonesia. Untuk lebih lengkap, lihat: Choirul Anam, 1985, Pertumbuhan dan Perkembangan Nahdlatul Ulama, (Sala: Jatayu), hlm. 25-26, dan hlm. 32-33.

Halaman Berikutnya

  • Hasyim Asy’ari

    Dosen Program Studi Doktor Ilmu Sosial, Konsentrasi Kajian Ilmu Politik, FISIP UNDIP Semarang; Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Gerakan Pemuda Ansor Jawa Tengah (2010-2014); Kepala Satkorwil Banser Jawa Tengah (2014-2018)

POPULER
Search