Relasi Negara dan Islam di Indonesia: Pengalaman Nahdlatul Ulama (Bagian 2)

Seorang pendeta bernama Simon menyatakan bahwa persatuan umat Islam harus dipecah, sehingga missi sanggup menasranikan kaum muslimin, karena bila kaum muslimin bersatu akan menjadi bahaya dan kutukan bagi dunia missionaris.19  Pernyataan  ini  menunjukkan  bahwa “politik pecah belah” memiliki dua dimensi kepentingan, yaitu kepentingan penaklukan politik dan agama sekaligus.

Dalam hal ini Snouck Hurgronje (seorang advisser pemerintah kolonial Belanda) secara tegas menyatakan bahwa berkembangnya pengaruh Belanda di Timur tidaklah semata-mata bermaksud mencari keuntungan material, namun juga lebih banyak dimaksudkan untuk mengembangkan agama Kristen.20 Gubernur Jenderal A.W.F. Idenburg yang berkuasa di Hindia Belanda 1909-1916 sebagai penggagas Kristening Politiek menyatakan bahwa Kristening Politiek tidak saja akan memperkuat agama Kristen di negeri jajahan, namun juga agar kekuasaan penjajah lebih kokoh dan sulit dilepaskan.21 Lebih lanjut Idenburg menyatakan bahwa dapat tetap dipertahankannya tanah jajahan Indonesia tergantung kepada dapat dikristenkannya atau tidak rakyat Indonesia, bahkan ia bertekad agar penjajah Belanda tetap menguasai Indonesia sampai agama Kristen menjadi agama bangsa Indonesia.22

Dalam rangka memperkuat Kristening Politiek, Snouck Hurgronje melancarkan Islam Politiek, yaitu politik “netralitas agama” yang mengakui dan memberikan kebebasan beragama sepanjang  tidak  mengganggu  ketertiban  dan  keamanan.23  Politik keagamaan  ini  bersifat “dualistis”, yaitu memisahkan antara Islam sebagai doktrin agama dan Islam sebagai doktrin politik,24 atau splitsing-theory sebagaimana disebutkan oleh Kernkomp.25 Snouck Hurgronje membagi masalah Islam atas tiga kategori: 1) bidang agama murni, 2) bidang sosial kemasyarakatan, dan 3) bidang politik. Dalam bidang agama murni dan sosial kemasyarakatan, Belanda memberi kebebasan sepanjang tidak mengganggu ketertiban dan keamanan. Sementara di bidang politik, segala politik keislaman akan dicegah secara represif, bahkan kalau perlu akan dihadapi dengan kekerasan.26 Politik keagamaan dualistis ini, oleh H.J. Benda disebut sebagai “politik kembar” antara toleransi dan kewaspadaan, karena memang motivasi dan orientasinya adalah untuk kelestarian kekuasaan pemerintah kolonial.27


19 Mustofa Kholidy dan Omar A. Farukh, 1953, Al-Tabsyir wa al-Isti‟mar, alih bahasa Tk. H. Ismail Yakub, (Surabaya: CV. Mizan), hlm. 38. Lihat juga: Saifuddin Zuhri, op.cit., hlm. 368 dan 386.

20 Zuhri, ibid., hlm. 381.

21 Stoddard, op.cit., hlm. 306.

22 Mengenai pernyataan-pernyataan ini secara lebih lengkap, baca pidato-pidato para pemimpin dan pejabat Belanda yang dikutip Aqib Suminto, op.cit., hlm. 17-25.

23 Lihat: R.R. (Reglement op het belid der Regering van Nederland Indie) 1854 ayat 119, hlm. 28, yang berbunyi: “Setiap warga negara bebas menganut pendapat agamanya, tidak kehilangan perlindungan masyarakat dan anggotanya atas pelanggaran peraturan umum hukum agama”.

24 Harry J. Benda, 1980, The Crescent and The Rising Sun, alih bahasa Daniel Dhakidae, (Jakarta: Pustaka Jaya), hlm. 44.

25 Aqib Suminto, op.cit., hlm. 15.

26 Ibid.

27 H.J. Benda, op.cit., hlm. 45.

Halaman Berikutnya

  • Hasyim Asy’ari

    Dosen Program Studi Doktor Ilmu Sosial, Konsentrasi Kajian Ilmu Politik, FISIP UNDIP Semarang; Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Gerakan Pemuda Ansor Jawa Tengah (2010-2014); Kepala Satkorwil Banser Jawa Tengah (2014-2018)

POPULER
Search