Relasi Negara dan Islam di Indonesia: Pengalaman Nahdlatul Ulama (Bagian 2)

Berbagai kekalahan ini dipandang Eropa bukan hanya sebagai kekalahan politik, namun juga kekalahan agama. Oleh karena itu, hal ini menimbulkan kebencian terhadap Islam dan dunia Islam, sehingga memupuk dendam untuk membalas dan menguasai Islam pada suatu ketika kelak. Atas restu Paus Alexander VI, Spanyol dan Portugal yang dipersatukan lewat perkawinan politik antara Raja Ferdinand II dengan Issabella, berhasil menghancurkan Islam di Spanyol (1492). Berdasarkan Perjanjian Tordesillas (7 Juni 1494), Spanyol dibagi menjadi dua wilayah, yaitu wilayah di belahan Barat Spanyol menjadi bagian Spanyol dan belahan Timur Spanyol menjadi bagian Portugis.

Peristiwa historis ini dapat ditafsirkan bahwa Paus Alexander VI sebagai pucuk pimpinan agama Kristen pada waktu itu telah merestui dan memberi mandat kepada Spanyol dan Portugis untuk menghancurkan dan menjajah bangsa-bangsa Islam.17 Sejak itu timbul semangat reconquistia (penaklukan), dengan memberangkatkan para conquistador dan angkatan crusade (angkatan perang Salib), dari Barat ke dunia Timur, terutama dunia Islam, yang bertujuan untuk merebut kembali wilayah mereka dan memperluas pengaruh agama Kristen.18

Demikian pula dengan bangsa Portugis, Spanyol, Inggris dan Belanda yang berdatangan silih berganti ke wilayah Nusantara, selalu dibalut oleh tiga semangat sekaligus: ekonomi (gold), politik (glory) dan agama (gospel). Bangsa Belanda yang menginjakkan kakinya pertama kali di Indonesia pada akhir abad XVI, dalam perkembangannya, yaitu pada tahun 1602 memperkuat kedudukannya dengan memonopoli perdagangan melalui VOC (Vereenidge Oast Indische Compagnie). Kekuasaan Belanda di Nusantara ini mengalami pasang surut, ditandai dengan bubarnya VOC pada tahun 1799 dan jatuhnya Kerajaan Belanda ke tangan Perancis pada tahun 1806, ini diikuti jatuhnya Indonesia ke tangan Inggris (sekutu Perancis) pada tahun 1811. Belanda berkuasa kembali di Indonesia, menyusul dikalahkannya Perancis oleh Kerajaan Belanda pada tahun 1814, dan sejak itu penjajahan Belanda semakin kuat.

Sebenarnya perlawanan rakyat Indonesia yang dipimpin para ulama tak pernah reda dari masa ke masa. Sejarah mencatat perlawanan Iskandar Muda di Aceh tahun 1511, Sultan Demak (1512, 1526 dan 1527), Sultan Babullah Ternate 1575, Sultan Agung Mataram 1628-1629, Sultan Hasanuddin di Goa, Pangeran Diponegoro 1825-1830, Tuanku Imam Bonjol di Sumatera Barat, Teungku Umar dan Tjut Nyak Din di Aceh. Berbagai perlawanan itu seringkali mudah dipatahkan, selain karena kalah dari segi persenjataan, politik devide et impera juga digunakan dalam menghadapi berbagai perlawanan itu.


17 KH. Saifuddin Zuhri, 1980, Sejarah Kebangkitan Islam dan Perkembangan di Indonesia, (Bandung: Al-Ma‘arif), hlm. 346. Bandingkan: Muhammad Yamin, 1968, Tatanegara Majapahit II, (Jakarta: Yayasan Prapanca), hlm. 266, 313 dan 329.

18 Saifuddin Zuhri, loc.cit.

Halaman Berikutnya

  • Hasyim Asy’ari

    Dosen Program Studi Doktor Ilmu Sosial, Konsentrasi Kajian Ilmu Politik, FISIP UNDIP Semarang; Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Gerakan Pemuda Ansor Jawa Tengah (2010-2014); Kepala Satkorwil Banser Jawa Tengah (2014-2018)

POPULER
Search