Mulai Deh Geger Capres Lagi

Ilustrasi polarisasi dukungan capres.

POLARISASI dukung-mendukung, agaknya masih menyelubungi warga kita di musim presiden selanjutnya. Padahal, kita sudah berharap, hantu perpecahan dukung-mendukung ini menghilang. Eh, naga-naganya bakal berlanjut.

Bila kita lihat di semesta maya, benih-benih polarisasi mulai ada lagi. Perlahan, namun pasti.

Polanya sama. Capres lain, buruk. Hanya capres pilihannya lah yang paling baik dari yang terbaik. Kalau bisa dan boleh, disamakan dan disetarakan dengan dewa. Disebut-sebut dan dibangga-banggakan garis keturunannya. Diungkit-ungkit prestasinya yang bahkan kita sendiripun belum tentu mengetahui kebenarannya. Lalu dikorek-korek korengnya. Aroma busuknya dipaksa disebarkan ke hidung siapa saja.

Duh Gusti, kita sudah lelah dengan semua ini.

Bukankah mereka yang mencalonkan atau dicalonkan jadi presiden adalah anak bangsa juga. Meski belum tahu kualitasnya seperti apa, tapi setidaknya kita berprasangka baik saja. Perkara mereka nantinya menyelewengkan jabatan, itu sudah bukan ranah kita yang menghukum. Biar Tuhan yang mengurusnya.

Tidak kah kita lelah dengan semua ini?

Apa yang kita dapat dengan perpecahan ini?

Menang atau tidak capres idola kita, ya kita tetap legowo. Bukankah kita sudah menyetujui dan menyepakati demokrasi adalah cara kita memilih mereka. Suara terbanyak, itulah yang menang. Meski yang terbanyak itu sejatinya juga bukan cara terbaik dalam memilih.

Demokrasi memang tolak-tolakkan dengan musyawarah.

Yang terbanyak, itulah yang menang dalam iklim demokrasi. Beda dengan sistem musyawarah yang meski dukungan kecil, namun dinilai memberikan manfaat jauh lebih banyak, dialah yang terpilih atas kesepakatan dan kesadaran bersama.

Negara kita ini memang luar biasa. Dari sisi mana saja. Jumlah penduduk, kekayaan tanah, air, udara, langit, tak terhingga.

Diibaratkan manusia, Indonesia adalah gadis cantik nan semlohay. Yang siapa saja pada pandangan pertama pasti jatuh cinta, kemudian ingin memiliki.

Ya, negara mana saja sudah mengincar kita. Apa saja mereka lakukan untuk mendapatkan. Bahkan dengan cara kotor sekalipun.

Sadarkah kita sudah dipermainkan tangan-tangan kotor tak terlihat?

Kita dibuat saling berdebat, saling ribut dan rebut, pukul sana-sini, injak kepala injak kaki bahkan dengan saudara sendiri. Lantas, apa yang kita dapat?

Kita sibuk dengan keributan bodoh kita sendiri. Orang lain leluasa masuk dan berlenggang di rumah kita. Mengambil dan merampas perabotan rumah kita. Kursi, meja, televisi, bahkan isi septiktank kita pun mereka sedot tanpa kita sadari.

Apakah kita mesti menunggu rumah kita dikuasai orang lain baru sadar? Apakah kita harus menunggu terusir dari rumah sendiri baru dulu baru sadar?

Jika kesadaran kita baru tersadar pada posisi itu, maka kita adalah setolol-tololnya pemilik rumah. Maka, agar tidak menjadi manusia tolol, injak sedari awal bibit fanatisme terhadap capres. Jangan beri kesempatan bibit itu tumbuh besar.

Ingat, bukan capreslah yang nantinya akan menyelamatkan kita. (*)

  • Deni Sulaksono

    Mediapreneur yang masih berupaya memantaskan diri dengan menyerap ilmu sebanyak-banyaknya.

POPULER
Search