Islam, Negara dan Pancasila dalam Pandangan Nahdlatul Ulama

Berdasarkan kepada prinsip-prinsip tersebut, maka NU berpandangan bahwa produk peraturan perundangan hendaklah dapat: (1) melindungi semua golongan; (2) berkeadilan; (3) sesuai dengan agama/keyakinan/kepercayaan masyarakat yang disahkan keberadaannya di Indonesia; (4) sesuai dengan nilai-nilai kepatutan dan budaya masyarakat yang tidak bertentangan dengan agama; (5) selalu memiliki wawasan ke depan.

NU memandang bahwa penyerapan hukum Islam ke dalam hukum nasional adalah suatu keniscayaan, karena sebagian besar masyarakat Indonesia beragama Islam di mana ada bagian-bagian dari hukum Islam yang dapat terlaksana secara paripurna memerlukan peranan dan dukungan negara. Oleh karena itu, NU memandang penyerapan hukum Islam ke dalam hukum nasional dapat diwujudkan sejalan dengan semangat bhinneka tunggal ika dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hal ini disebabkan karena hukum Islam adalah semuanya membawa kemaslahatan bagi umat manusia dan alam semesta, sehingga tidak akan terjadi diskriminasi terhadap warga negara yang berbeda budaya maupun agama.

Pola penyerapan itu dapat dilakukan dalam tiga hal yaitu formal, substansial, dan esensial, tergantung pada materi dan ruang lingkup berlakunya.

  • Pertama, pola formal (rasmiah). Formal artinya penyerapan hukum Islam pada hukum nasional secara formal. NU memandang ada bagian-bagian hukum Islam yang harus diserap dalam hukum nasional secara formal dan hanya berlaku bagi umat Islam, seperti zakat, wakaf, peradilan agama, dan haji. Dalam hal ini, NU mendorong terbitnya peraturan perundang-undangan yang secara formal mengatur persoalan tersebut yang hanya berlaku bagi umat Islam.
  • Kedua, substansial (dzatiah). NU menyadari bahwa ajaran Islam adalah ajaran universal (rahmatan lil alamin), untuk itu NU berupaya agar nilai-nilai ajaran Islam dapat dirasakan kemaslahatannya bukan hanya oleh bangsa Indonesia saja akan tetapi oleh seluruh umat manusia. Karena sistem sosial politik bangsa Indonesia belum memungkinkan berlakunya ajaran Islam secara formal, maka NU memperjuangkan nilai-nilai substansi dalam peraturan perundangundangan, seperti masalah pornografi, perjudian, penyalahgunaan narkoba dan lain-lain.
  • Ketiga, esensial (ruhiah). NU menyadari kebinekaan bangsa Indonesia dan mendukung tegaknya NKRI. Karena itu dalam penerapan syariah, NU merasa perlu menggunakan pola tadriji untuk menghindarkan penolakan masyarakat yang berakibat kontraproduktif bagi perkembangan sosialisasi syariah pada masa depan. Hukum Islam yang belum memungkinkan diterapkan, diupayakan untuk memasukkan esensi Hukum Islam ke dalam perundangan yang berlaku di Indonesia. Seperti dalam hukum pidana Islam, NU untuk sementara belum mendorong berlakunya hukum jinayat Islam secara formal ataupun substansial, tetapi mengupayakan terserapnya esensi hukum jinayah. Misalnya pidana terhadap pelaku zina (ghairu muhson) yang dalam KUHP tidak dianggap sebagai pidana harus diperjuangkan menjadi delik pidana dengan hukuman ta’zir.

Akhir

Sampai di sini dapat diketahui posisi dan sikap NU dalam kehidupan politik kenegaraan Indonesia. Nampaknya NU akan tetap mengambil peran dalam berpolitik, terutama di tingkat kenegaraan dan kebangsaan, melalui cara pandang Islam moderat dan toleran yang dikembangkannya.

Relasi negara dan Islam di Indonesia diwarnai oleh ketegangan dan moderasi. Pengalaman NU setidaknya menggambarkan dinamika relasi itu. Pada akhirnya relasi negara dan Islam di Indonesia adalah pilihan. Pengalaman NU dapat dipilih sebagai pelajaran bahwa relasi negara dan Islam di Indonesia tidak selalu ditempuh melalui jalur ketegangan yang berwatak kekerasan, namun ketegangan itu dapat dikelola secara kreatif melalui jalur moderasi dan toleransi. (*)

  • Hasyim Asy’ari

    Dosen Program Studi Doktor Ilmu Sosial, Konsentrasi Kajian Ilmu Politik, FISIP UNDIP Semarang; Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Gerakan Pemuda Ansor Jawa Tengah (2010-2014); Kepala Satkorwil Banser Jawa Tengah (2014-2018)

POPULER
Search