Islam, Negara dan Pancasila dalam Pandangan Nahdlatul Ulama

  • Keempat*, Muktamar NU ke-27 di Situbondo tahun 1984 ini memiliki nilai strategis karena beberapa hal.
    • Pertama, pada Muktamar ini NU mengambil sikap untuk kembali kepada orientasi awal pendirian NU yaitu sebagai jam’iyah diniyyah yang memiliki keprihatinan kepada masalah sosial-keagamaan.
    • Kedua, pada muktamar kali ini mulai dilakukan regenerasi dalam kepengurusan NU.
    • Ketiga, dalam muktamar ini dikukuhkan hasil keputusan Munas Alim Ulama NU di Situbondo 1983 tentang hubungan NU dan Pancasila. Keputusan yang paling penting adalah mengenai hubungan NU dan Pancasila. Berdasarkan pertimbangan keagamaan yang diyakini oleh para ulama NU, NU mengambil sikap secara tegas tidak mempersoalkan penerimaan Pancasila sebagai asas organisasi.

Pertimbangan penerimaan Pancasila ini didasarkan kepada pertimbangan agama, yaitu: pertama, bahwa Pancasila dapat diterima sebagai asas organisasi sepanjang tidak mengubah fungsi Pancasila menjadi agama. Kedua, prinsip ketuhanan yang terkandung dalam Pancasila, menurut NU, sama dengan prinsip tauhid dalam Islam. K.H. Achmad Siddiq secara tegas menyebutkan bahwa Pancasila adalah sebagai kalimatin sawain (titik temu) bagi bangsa Indonesia. Dengan demikian, menurut NU, tidak ada alasan untuk mempertentangkan antara Islam dan Pancasila. Ketiga, NU secara tegas menerima bentuk negara kesatuan RI yang berdasarkan Pancasila sebagai bentuk yang final. NU tidak lagi mempersoalkan antara negara Pancasila dengan negara Islam.

Keputusan Muktamar NU Situbondo itu dapat dipandang sebagai sikap fleksibel-moderat NU, karena pada beberapa waktu sebelumnya tak jarang terjadi ketegangan hubungan antara NU dan negara. Masalah agama seputar rencana Undang-Undang (UU) perkawinan menjadi issu utama pada tahun 1973. Kalangan NU menolak usulan RUU dari pemerintah yang mengabaikan tata cara perkawinan menurut Islam. Pihak NU dengan dukungan penuh KH. Bisri Syansuri yang mengutamakan cara pandang fiqh, mengusulkan berbagai perubahan dalam rancangan UU perkawinan ini, agar lebih menyesuaikan hukum Islam.

Pada kesempatan ini, pihak militer cenderung akomodatif terhadap reaksi keras kalangan NU. Hal ini karena pihak militer sedang dihadapkan pada “serangan” yang cukup berat, yaitu tuduhan sebagai agen sekularisme, dan kritik keras dari mahasiswa yang menolak modal asing yang puncaknya meledak pada peristiwa Malari (15 Januari 1974).

Sikap radikal NU terhadap pemerintah Orde Baru ditunjukkan dalam Sidang MPR 1978. NU tidak setuju dengan gagasan pemerintah yang memasukkan “aliran kepercayaan” sejajar dengan posisi agama. NU mengusulkan agar semua konsep mengenai “aliran kepercayaan” dalam GBHN dihapuskan, karena NU khawatir dengan posisi yang sejajar demikian ini “aliran kepercayaan” akan berpotensi menggantikan agama. Selain itu, NU menilai bahwa upaya memunculkan “aliran kepercayaan” ke dalam wacana formal sama dengan pengakuan adanya pembelahan antara “santri”dan “abangan”, padahal antara kedua varian budaya itu, secara formal mereka adalah pemeluk agama Islam.

Halaman Berikutnya

  • Hasyim Asy’ari

    Dosen Program Studi Doktor Ilmu Sosial, Konsentrasi Kajian Ilmu Politik, FISIP UNDIP Semarang; Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Gerakan Pemuda Ansor Jawa Tengah (2010-2014); Kepala Satkorwil Banser Jawa Tengah (2014-2018)

POPULER
Search