Islam, Negara dan Pancasila dalam Pandangan Nahdlatul Ulama

Dalam perkembangannya, NU dalam mengambil keputusan lebih didasarkan kepada hukum fiqh. Ada beberapa kasus yang menunjukkan bahwa keputusan politik NU didasarkan kepada fiqh, yaitu sikap NU yang menyatakan bahwa Hindia Belanda adalah dar al-islam, resolusi jihad NU dalam mempertahankan kemerdekaan dari pendudukan kembali penjajah Belanda, dan pemberian gelar waliy al-amry al-daruri bi al-syaukah kepada Presiden Soekarno.

Selain itu Muktamar NU ke-27 di Situbondo tahun 1984, Munas Alim Ulama di Cilacap1987, dan Muktamar NU ke-32 di Makasar tahun 2010. Cara pandang dan sikap NU itu merupakan potret titik-temu antara Islam dan negara di Indonesia.

  • Pertama, pada Muktamar NU XI di Banjarmasin tahun 1936 di antaranya memutuskan bahwa wilayah Hindia Belanda sebagai dar al-islam. Keputusan ini didasarkan pada dua pertimbangan.
    • Pertama, sebelum kedatangan penjajah Belanda, mayoritas penduduk di wilayah Nusantara beragama Islam, dengan demikian ia berstatus sebagai dar al-islam. Walaupun kemudian status Hindia Belanda berada di bawah pemerintahan kolonial Belanda yang beragama Kristen, kondisi ini tidak merubah status Nusantara sebagai dar al-islam.
    • Kedua, kendati di bawah pemerintah kolonial Belanda yang beragama Kristen, namun praktek keagamaan berdasar Islam di Nusantara tetap boleh berlangsung, maka status Nusantara tetap sebagai dar al-islam.
  • Kedua, setelah Indonesia memproklamasika diri sebagai negara merdeka dan berdaulat, NU mengeluarkan statemen politik yang dikenal dengan “Resolusi Jihad”. Resolusi Jihad ini menegaskan sikap NU untuk membela kemerdekaan dari upaya kolonial yang akan merebut kembali kemerdekaan Indonesia.

Resolusi Jihad NU ini pertama kali dikumandangkan pada tanggal 22 Oktober 1945, dan dikukuhkan dalam Muktamar NU XVI di Purwokerto tanggal 26-29 Maret 1946. Resolusi Jihad NU ini berisi seruan bahwa jihad fi sabilillah mempertahankan kemerdekaan dari tangan penjajah adalah fardlu ‘ain hukumnya, terutama bagi kaum muslimin yang berada pada radius 80 km yang berada di wilayah pertempuran. Radius 80 km ini merupakan qiyas dari hukum rukhshah shalat. Bagi kaum muslimin yang meninggal dalam jihad ini dihukumi sebagai mati syahid.

Resolusi Jihad ini tentu saja pada gilirannya memperkuat moral psikologis para pejuang dalam melakukan pertempuran melawan tentara Belanda yang coba masuk kembali ke Indonesia.

  • Ketiga, keputusan politik NU untuk memberikan gelar kepada Presiden Soekarno sebagai waliy al-amry al-daruri bi al-syaukah (pemegang kekuasaan temporer yang secara de facto memegang kekuasaan) diprakarsai oleh K.H. Masjkur, Menteri Agama (1953-1954), yang menggelar pertemuan ulama nasional dan banyak dihadiri ulama yang berafiliasi dengan NU dan Perti.

Pemberian gelar ini berkaitan dengan didirikannya Pengadilan Agama di Sumatera Barat, dan keputusan Menteri Agama mengenai pengangkatan (tauliah) wali hakim bagi perkawinan wanita yang tidak mempunyai wali (nasab) sendiri. Status penguasa negara Indonesia sebagai penguasa Islam sangat menentukan keabsahan legitimasi Islam bagi wali hakim di pengadilan agama nantinya.

Di sisi lain, pemberian gelar kepada Presiden Soekarno ini mempunyai implikasi politik, yaitu dengan gelar waliy al-amry ini pada saat yang bersamaan mendelegitimasi kekuasaan Kartosuwirjo (pemimpin pemberontakan DI/TII) yang mendeklarasikan dirinya sebagai “imam” dar al-islam Indonesia. Berdasarkan keterangan tersebut, terlihat bahwa NU dapat bersikap fleksibel dan tegas sekaligus dalam mengambil keputusan. Sikap NU ini sangat dipengaruhi oleh karakter fiqh yang dianut NU dalam mengambil keputusan.

Halaman Berikutnya

  • Hasyim Asy’ari

    Dosen Program Studi Doktor Ilmu Sosial, Konsentrasi Kajian Ilmu Politik, FISIP UNDIP Semarang; Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Gerakan Pemuda Ansor Jawa Tengah (2010-2014); Kepala Satkorwil Banser Jawa Tengah (2014-2018)

POPULER
Search