Islam, Negara dan Pancasila dalam Pandangan Nahdlatul Ulama

Menyambut Hari Pancasila 1 Juni 2024

Mencari Titik Temu

Titik konflik yang menonjol di Indonesia di antaranya diwarnai oleh relasi negara dan agama. Konflik ini dapat melibatkan antara otoritas negara versus warga negara, dan konflik antar warga negara. Persoalan ini dapat diruntut dari bagaimana relasi antara negara dan agama, serta pandangan masyarakat terhadap negara dan agama.

Relasi antara negara dan agama memiliki beberapa kecenderungan.

  • Pertama, negara berdasar agama, pada negara ini terjadi bersatunya pemegang otoritas negara dan agama (waliyul amri kalifatullah sayyidin pranatagama, caesaro papisme). Negara dan pemegang otoritas negara dijalankan berdasarkan agama tertentu. Pada model negara ini terdapat dua kemungkinan, yaitu warga negara diwajibkan memeluk agama resmi negara dan kemungkinan lainnya warga diberi kebebasan untuk memeluk agama sesuai keyakinannya.
  • Kedua, agama sebagai spirit bernegara, pada model ini negara tidak secara formal menganut agama tertentu, namun nilai-nilai agama menjadi spirit penyelenggara dan penyelenggaraan negara, dan terdapat jaminan dari negara terhadap warga negara untuk memeluk agama tertentu dan beribadat berdasarkan keyakinan agamanya itu.
  • Ketiga, negara sekuler, pada negara model ini terdapat pemisahan otoritas negara dan agama, atau secara ekstrem negara tidak mengurus agama dan demikian juga agama tidak berkaitan dengan negara.

Lalu Indonesia berada pada model yang mana? Dalam pandangan saya, Indonesia cenderung berada pada model kedua, yaitu agama sebagai spirit bernegara. Indonesia tidak menganut kepada agama tertentu, namun negara berdasar kepada prinsip ketuhanan, dan negara memberikan jaminan kebebasan beragama kepada warganya.

Beberapa Perbandingan

Pada sejumlah negara yang berpenduduk mayoritas muslim terdapat beberapa bentuk praktek syari‘ah Islam. Dengan maksud untuk memudahkan klasifikasi dapat ditemukan dua corak utama praktek syari‘ah Islam.

  • Pertama, negara yang menempatkan syari‘ah sebagai hukum negara. Negara macam ini menganggap bahwa syari‘ah yang bersumber pada Qur‘an dan Sunnah sudah cukup lengkap dan memadai untuk mengatur kehidupan masyarakat. Terhadap berbagai masalah yang muncul dalam masyarakat, negara cukup dengan merujuk kembali kepada aturan normatif yang terkandung di dalam dua sumber tadi.

    Arab Saudi dan Sudan dapat ditunjuk sebagai contoh negara dalam kategori ini. Namun begitu, seperti di Arab Saudi muncul persoalan penafsiran terhadap teks Qur‘an dan Sunnah, karena di Arab Saudi lebih menekankan pada madzhab Hanbali-Wahabi. Jadi ada semacam persoalan intern di kalangan umat Islam Arab Saudi, yaitu dalam praktek syari‘ah Islam lebih tunduk kepada madzhab yang dominan. Sementara dalam praktek-praktek hukum tertentu, seperti masalah perburuhan dan real estate, hukum yang digunakan adalah peraturan hukum yang dibuat oleh raja.

    Di Sudan ada kecenderungan berlakunya syari‘ah Islam dibarengi dengan munculnya represifitas yang cukup tinggi oleh pihak penguasa terhadap pihak yang berbeda pendapat dengan penguasa negara. Mahmoud Mohammed Toha, seorang ulama reformis yang memiliki sejumlah gagasan pembaharuan pemahaman syari‘ah terpaksa harus tewas di tiang gantungan rezim Ja‘far Numeiry, hanya karena pandangannya berbeda dengan pendapat resmi ulama negara.

  • Kedua, negara yang menempatkan syari‘ah hanya sebagai bagian pelengkap saja dari hukum negara. Hukum yang berlaku hampir semuanya tidak bersumber dari syari‘ah Islam, yaitu Qur‘an dan Sunnah secara tekstual-formalistik. Syari‘ah Islam di negara kategori macam ini hanya digunakan untuk mengatur hal-hal yang sifatnya privat. Sementara di bidang lain yang bersifat publik tidak tersentuh sama sekali oleh pengaturan syari‘ah. Dapat dikatakan, pada negara macam ini sekularisasi dalam arti pemisahan antara wilayah pengaturan agama dan pengaturan negara benar-benar terjadi.

    Turki sebagai pewaris terakhir dari kekhalifahan Islam dapat ditunjuk dalam hal ini. Hampir semua produk hukum Turki merupakan konkordansi dari hukum Perancis. Sementara syari‘ah hanya menempati pengaturan dalam wilayah hukum keluarga, seperti perkawinan, perceraian dan pewarisan.

Halaman Berikutnya

  • Hasyim Asy’ari

    Dosen Program Studi Doktor Ilmu Sosial, Konsentrasi Kajian Ilmu Politik, FISIP UNDIP Semarang; Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Gerakan Pemuda Ansor Jawa Tengah (2010-2014); Kepala Satkorwil Banser Jawa Tengah (2014-2018)

POPULER
Search