Di Rumah Aja Nak, Kuliah Mahal

IDIOM warga miskin dilarang sakit di negeri ini, sepertinya bakal bertambah.

Bagi para orangtua yang hendak menguliahkan anaknya tahun ini, siap-siap picik kepala. Siap-siap rogoh kantong paling dalam. Siap-siap berhitung. Atau, siap-siap saja cari dana utangan.

Biaya Uang Kuliah Tunggal (UKT) pada perguruan tinggi negeri (PTN) bikin geleng-geleng kepala. Dari web salah satu PTN, UKT terendah Rp 8 jutaan persemester. Perbulan, orangtua mesti sisihkan Rp 1 jutaan. Kalau penghasilan orangtua besar, tutup mata duit segitu. Nah, bagi yang madesu, tentu menetes air mata.

Itu baru uang untuk UKT. Belum ongkos sangu tiap hari. Beli buku, BBM, dan keperluan tetek-bengek lainnya. Yang pasti bikin napas orangtua sesak sesesaknya.

Pendidikan adalah hal dasar. Pemerintah pun sudah siapkan duit Rp 600 triliun di 2024 untuk dana pendidikan. Pertanyaan kami sebagai orang awam, masih kurangkah duit segitu gedenya. Yang untuk membayangkan berapa tumpuk uang triliunan itu saja, kami tak mampu dan tahu. Seberapa meter tinggi tumpukkannya, tak tahu.

Sebegitu memang kah biaya yang harus ditebus orangtua agar anaknya bisa kuliah hanya untuk dapat selembar kertas ijazah?

Dilema. Tak berijazah akan berpengaruh terhadap masa depan anak.

Untuk melamar pekerjaan saja, wajib sarjana. Lucunya, untuk jadi anggota legislatif, cukup lulusan SMA. Koreksi jika salah.

Toh begitu wisuda, tak ada jaminan langsung bekerja. Mesti keliling dari satu perusahaan ke perusahaan lain sembari menanti tes ASN.

Apa yang salah dengan ekosistem pendidikan kita? Masih kurangkah gelontoran APBN?

Bagi orangtua madesu, pilihannya adalah mencari kampus yang UKT-nya termurah. Atau bahkan tidak mengkuliahkan dengan menyarankan anaknya untuk mencari pekerjaan apa saja. Siapa tahu, dengan si anak bekerja, ia bisa membantu orangtuanya untuk membayar UKT-nya sendiri. Tapi, jika anaknya betah bekerja, ya lanjutkan saja. Tak usah kuliah. Toh, tujuan akhir kuliah adalah mencari pekerjaan.

Apalagi di pemerintahan selanjutnya, untuk mencari pos anggaran makan gratis saja sudah pusing. Jangan-jangan, pos pendidikan yang gede itu, bisa disunat. Alamat bakal naik lagi biaya pendidikan itu.

Padahal, pendidikan itu prioritas. Jika pendidikan murah, orang-orang bisa beli makan sendiri. Tapi faktanya, kita lebih suka dikasih makan gratis ketimbang pendidikan murah.

Kalau begitu, kita arahkan anak untuk buka usaha katering saja. Siapatahu bisa dapat pengadaan makan gratis. Bye- bye ijazah. (*)

  • Deni Sulaksono

    Mediapreneur yang masih berupaya memantaskan diri dengan menyerap ilmu sebanyak-banyaknya.

POPULER
Search